Satu Tahun Sudah Tragedi Kanjuruhan Berlalu, Lalu?
Kolom

Satu Tahun Sudah Tragedi Kanjuruhan Berlalu, Lalu?

Standar penyelenggaraan keolahragaan harus juga mempertimbangkan faktor keamanan dan keselamatan bagi seluruh pihak dalam pertandingan olahraga.

Bacaan 5 Menit
Syahrul Sajidin SH. MH. Foto: Istimewa
Syahrul Sajidin SH. MH. Foto: Istimewa

Masih ingat tragedi kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022? Pemerintah merenovasi Stadion Kanjuruhan dengan dalih memperbaiki kondisi dan fasilitas stadion. Namun, langkah itu lebih terasa menyakiti rasa kemanusiaan kita. Stadion Kanjuruhan dalam konteks hukum adalah tempat kejadian perkara untuk memperjelas suatu tindak pidana. Secara simbolis, Stadion Kanjuruhan adalah kuburan tempat kita berempati dan mendoakan para korban. Tempat ini tidak lagi tepat untuk menonton hiburan, berjingkrak merayakan gol demi gol dalam pertandingan sepak bola. Semegah apa pun Stadion Kanjuruhan nantinya, tidak akan mampu menghapuskan kelamnya tragedi kemanusiaan yang terjadi di sana pada 1 Oktober 2022.

Mari melihat sekilas naskah akademik Rancangan Undang-Undang Keolahragaan. Isinya menyebutkan bahwa olahraga juga erat kaitannya dengan pengembangan kebudayaan dan peradaban masyarakat. Lalu, UNESCO—dalam International Charter of Physical and Education Sport—mendeklarasikan pada tahun 1978 bahwa pendidikan jasmani dan olahraga adalah suatu kegiatan untuk mengaktualisasikan hak-hak asasi manusia dalam rangka mengembangkan dan mempertahankan kemampuan fisik, mental, dan moral. Pembukaan Olympic Charter menyebutkan antara lain bahwa olahraga merupakan wahana bagi pengejawantahan hak-hak asasi manusia. Perserikatan Bangsa Bangsa mendeklarasikan olahraga sebagai instrumen pembangunan, “Sport as means to promote education health development, and peace".

Di sisi lain, Pasal 93 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan mengatur standar nasional keolahragaan meliputi: a. standar kompetensi tenaga keolahragaan; b. standar isi program penataran/pelatihan tenaga keolahragaan; c. standar prasarana dan sarana; d. standar pengelolaan organisasi keolahragaan; e. standar penyelenggaraan keolahragaan; dan f. standar pelayanan minimal keolahragaan. Segala instrumen tersebut—beserta fakta yang terjadi pada tragedi Kanjuruhan—sudah semestinya menjadi dorongan kuat bagi kementerian dan induk olahraga untuk serius berbenah. Mereka harus segera menyusun standar nasional keolahragaan, terutama soal poin e dan f terkait penyelenggaraan keolahragaan dan pelayanan minimal keolahragaan.

Baca juga:

Meski sangat penting, tidak cukup hanya mempertimbangkan aspek sportivitas dalam setiap penyelenggaraan keolahragaan. Standar penyelenggaraan keolahragaan harus juga mempertimbangkan faktor keamanan dan keselamatan bagi seluruh pihak dalam pertandingan olahraga. Ada satu fakta menyedihkan yang baru diketahui pasca tragedi Kanjuruhan. Ternyata selama ini hanya ada satu orang di Indonesia yang memiliki lisensi sebagai “security officer” dari FIFA (Federation Internationale de Football Association). Bahkan, ketentuan sosialisasi security and safety match belum pernah disosialisasikan oleh PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) kepada para panita penyelenggara dan pemangku kepentingan terkait—termasuk pihak keamanan.

Fakta ini tidak terlalu mengejutkan karena selama ini penanganan security and safety pada setiap pertandingan sepakbola di Indonesia sangat berbeda-beda. Padahal, keberadaan security officer ini berperan sebagai jembatan komunikasi dan koordinasi antara konteks penyelenggaraan pertandingan dengan petugas keamanan. Keberadaan match steward (pengamanan sipil) harus diutamakan dalam mengatasi persoalan keamanan dan keselamatan dalam setiap pertandingan. Match steward sendiri tidak dipersenjatai untuk melakukan tindakan “represif” kepada penonton. Mereka hanya dibekali atribut berupa rompi dengan warna mencolok. Match steward bertugas untuk memastikan kelancaran pertandingan, termasuk juga memastikan keselamatan penonton selama berada di tribun hingga mengarahkan keluar tribun dan area stadion.

Keberadaan aparat keamanan kepolisian dan militer dalam pertandingan sepakbola hanya diperkenankan berada di ring luar stadion. Itu pun dilarang menggunakan atribut atau peralatan yang dapat digunakan sebagai alat kekerasan. Keberadaan aparat keamanan di dalam stadion diperbolehkan jika menggunakan atribut dan peralatan match steward dan bertugas berdasarkan instruksi dari security officer. Dengan demikian, sudah jelas gas air mata haram hukumnya dibawa masuk ke dalam stadion.

Tags:

Berita Terkait