Sejumlah Tantangan Sistem Digitalisasi Database Advokat
Utama

Sejumlah Tantangan Sistem Digitalisasi Database Advokat

Keuntungan atau manfaat sistem digitalisasi database advokat dapat memudahkan untuk menjalankan program dan berbagai kegiatan rutin dalam organisasi advokat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Narasumber dalam Bincang-bincang Premium Stories Hukumonline bertajuk 'Digitalisasi Database Advokat, Primer atau Sekunder?' secara daring, Rabu (24/11/2021).
Narasumber dalam Bincang-bincang Premium Stories Hukumonline bertajuk 'Digitalisasi Database Advokat, Primer atau Sekunder?' secara daring, Rabu (24/11/2021).

Upaya memperbaiki organisasi advokat perlu terus membenahi sistem manajemen keanggotaan. Terlebih, di era digitalisasi mau tak mau organisasi advokat perlu untuk menyesuaikan dengan sistem digital database keanggotaan dalam organisasi advokat. Sebab, dengan digitalisasi database keanggotaan memudahkan organisasi advokat untuk menentukan arah kebijakan atau menjalankan program.

“Digitalisasi database keanggotaan untuk menentukan arah kebijakan atau program,” ujar Sekretaris Umum (Sekum) Kongres Advokat Indonesia (KAI) Ibrahim Massidenreng dalam Bincang-bincang Premium Stories Hukumonline bertajuk “Digitalisasi Database Advokat, Primer atau Sekunder?” secara daring, Rabu (24/11/2021).

Ibrahim mengaku organisasi tempatnya bernaung mulai menggagas digitalisasi database keanggotaan advokat sejak 2016. Ide tersebut datang dari Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto. Dengan upaya keras, gagasan itu diwujudkan meskipun dengan beberapa kali mengalami kegagalan saat menunjuk vendor. Awalnya, KAI belum memiliki gambaran apa dan bagaimana aktivitas digitalisasi database keanggotaan advokat.

Setelah terwujud digitalisasi database dengan nama e-lawyer, banyak dirasakan manfaatnya bagi para anggotanya. Apalagi, selama ini Mahkamah Agung (MA) telah memiliki sistem digitalisasi dengan aplikasi e-court. Manfaat yang didapat, seperti perpanjangan Kartu Tanda Pengenal (KTA) Advokat; terintegrasinya informasi data dokumen; spesialisasi keahlian dalam bidang hukum yang dapat diakses oleh internal atau publik.

Selain itu, Sekretariat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KAI dapat dengan mudah memverifikasi informasi terbaru dari masing-masing anggota. “Dengan adanya digitalisasi upaya memangkas sistem birokrasi konvensional. Jadi tinggal melihat data yang ada, apakah ada penambahan data terbaru, seperti pendidikan, sertifikasi, dan lainnya,” kata dia menjelaskan.

Tapi, dia mengakui ada tantangan dengan sistem digitalisasi database yang tidak mudah diantisipasi yang menjadi kekhawatiran di internal organisasi. Pertama, keamanan database. Di era digital saat ini sering terjadi bocornya data pribadi ke publik yang dapat disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Kedua, pembiayaan yang tidak murah. Tapi, karena sudah menjadi keputusan organisasi sistem digitalisasi database berjalan sambil menerima masukan dari pimpinan ataupun anggota di seluruh pelosok Indonesia.

Ketiga, tantangan literasi digital yang menyangkut pengetahuan dan kebiasaan menggunakan teknologi dalam aktivitas transisi perilaku manual menjadi digital. Hal sudah dicoba sejak diberlakukan program e-lawyer dan e-registrasi ulang terhadap semua anggota KAI. Karena itu, KAI menempatkan digitalisasi database advokat sebagai data primer. “Dalam menjalankan sebuah program dalam organisasi menjadi keharusan memiliki database keanggotaan.”

Menurutnya, digitalisasi database advokat dapat diolah dan dipilah-pilah berdasarkan pengelompokan (klasifikasi), seperti berdasarkan pendidikan, jenis kelamin, hingga kompetensi. Bila telah terdapat filterisasi pengelompokan akan dengan mudah membuat program sesuai kebutuhan advokat. “Sehingga kita bisa bisa dengan mudah membangun program tepat sasaran,” katanya.

Membangun sistem informasi advokat

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia (Sekjen Peradi SAI) Patra M Zen mengatakan digitalisasi merupakan proses penggunaan sistem digital berbasis data. Memasuki era masyarakat 5.0, sudah saatnya organisasi profesi advokat membangun sistem advokasi berbasis internet yang berguna bagi anggotanya.

Sama halnya dengan KAI, sejak 2016 Peradi SAI sudah menggaungkan pentingnya digitalisasi database advokat. Misalnya, Patra memberi contoh bahwa Peradi SAI pernah menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) dengan sistem one man one vote berbasis teknologi informasi. Sejak saat itu, Peradi SAI bermitra dengan lembaga yang memiliki visi sama untuk membangun sistem digitalisasi.

“Jadi ketimbang mikir menjadi ketua umum (ketum) seumur hidup, mending mikirin cara membangun organisasi advokat yang bisa melayani kepentingan profesi advokat. Jadi yang dilayani kepentingan profesi advokat, bukan individu,” kata dia dalam kesempatan yang sama.

Mantan Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) periode 2006-2011 itu melanjutkan digitalisasi sistem database dapat digunakan dalam berbagai kegiatan rutin. Seperti Musyawarah Cabang (Muscab), Mukernas, Rakernas. Kini, Peradi SAI berkolaborasi dengan The Asian Foundation (TAF) untuk membangun sistem informasi advokat (SIA).

SIA ini dibangun dengan dua pilar. Pertama, advokat dapat memodifikasi atau memperbaharui data karena masing-masing advokat memiliki akun tersendiri. Kedua, sistem tersebut dapat dimonitor dan diawasi oleh masing-masing DPC dan Dewan Pimpinan Nasional (DPN). “Kita ingin organisasi advokat bisa bermanfaat bagi profesi advokat,” lanjutnya.

Program Officer TAF, Ajeng Wahyuni mengaku telah berkolaborasi dengan KAI dan Peradi SAI terkait program membangun sistem digitalisasi database advokat. Menurutnya, pendataan keanggotaan advokat dalam organisasi bagian memudahkan, memetakan kebutuhan pelatihan, pendidikan atau continuing legal education (CLE) guna meningkatkan kualitas kemampuan anggota. Seperti sertifikasi anggota dalam pendidikan dan pelatihan bidang hukum pertanahan, misalnya.

"Pendataan awal menjadi sangat penting. Jadi ketika membuat kebijakan atau program, maka basisnya dibutuhkan database,” katanya.

Tags:

Berita Terkait