Upaya Mengatasi Hambatan Eksekusi Perkara Lingkungan Hidup
Utama

Upaya Mengatasi Hambatan Eksekusi Perkara Lingkungan Hidup

Setiap perlawanan menunda eksekusi sebaiknya ditolak dan melanjutkan eksekusi; perlu disusun pedoman khusus yang mengatur pelaksanaan eksekusi perkara lingkungan; hingga penggugat sebaiknya mengajukan sita jaminan untuk memudahkan pelaksanaan isi putusan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Kedua, perlunya peningkatan dan kapabilitas aparatur pelaksana putusan pengadilan. Dalam hal ini ketua pengadilan, panitera, maupun jurusita/jurusita pengganti mengikuti pendidikan dan pelatihan terkait isu hukum terkini, kemampuan negosiasi, penelusuran aset, komunikasi dan hal lain yang sangat menunjang eksekusi putusan.

Ketiga, perlu disusun pedoman khusus yang mengatur pelaksanaan eksekusi perkara perdata khusus lingkungan. Keempat, pelaksanaan eksekusi perkara lingkungan, pemohon eksekusi perlu melibatkan berbagai instansi terkait dan ahli, terutama dalam pencarian aset dan tindakan pemulihan lingkungan.

Kelima, dalam tindakan pemulihan perlu dibuat rencana pemulihan secara konkret dan valid. Keenam, pembayaran denda ganti rugi dan biaya pemulihan lingkungan tidak dimasukan dalam rekening kas negara, tapi dibuat rekening khusus dan dipakai untuk penyelamatan kelestarian kepentingan lingkungan.

Ketujuh, setiap langkah penegakan hukum dalam perkara lingkungan hidup dapat dilakukan terobosan hukum dengan cara melakukan judicial activism, dengan semangat pro natura. Kedelapan, perlu diatur secara tegas, siapa yang menanggung biaya pada tahap pelaksanaan eksekusi (pengamanan, sewa alat dan perlengkapan, dsb). Kesembilan, penggugat sebaiknya mengajukan sita jaminan dalam pengajuan gugatan perdata lingkungan hidup untuk memudahkan pelaksanaan isi putusan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Andri Gunawan Wibisana, menegaskan sekalipun eksekusi berhasil dilakukan dan sejumlah denda sudah dibayar bukan berarti persoalannya selesai. Menurutnya, langkah penting yang harus dilakukan yakni melakukan pemulihan lingkungan hidup.

“Pada saat uang itu sudah dibayar dan masuk kas negara atau kas KLHK, maka pemulihan lingkungan hidup harus segera dilakukan,” kata dia dalam kesempatan yang sama.

Oleh karena itu, Andri mengusulkan antara lain untuk putusan yang sudah inkracht van gewijsde, pengadilan harus menjadikan rencana pemulihan lingkungan sebagai bagian dari syarat eksekusi putusan. Perlu ada penegasan bahwa uang yang diperoleh pemerintah hanya dapat ditujukan bagi pemulihan lingkungan.

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), M Tanziel Aziezi, mengatakan hasil penelitian LeIP tahun 2019 menemukan putusan perkara pidana lingkungan hidup sulit untuk dilakukan eksekusi. Beberapa penyebabnya yakni denda masuk dalam PNBP, sehingga tidak digunakan langsung untuk pemulihan lingkungan hidup.

Persoalan lain, tidak ada regulasi yang mengatur tentang mekanisme eksekusi terhadap penjatuhan tindakan perbaikan lingkungan akibat tindak pidana. Bagaimana jika pelaku tersebut tidak mau melakukan pemulihan sebagaimana putusan? Dia membandingkan dengan UU Pemberantasan Tipikor, jika terpidana dibebankan untuk membayar kerugian negara, tapi tidak melaksanakannya, maka hartanya dirampas. Jika jumlahnya belum cukup dikenakan penjara pengganti.

Tapi mekanisme seperti UU Pemberantasan Tipikor itu tidak ada dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, sehingga tidak ada mekanisme paksa dalam perkara lingkungan hidup. “Ini merupakan salah satu hambatan juga dalam eksekusi putusan perkara lingkungan hidup,” kata Tanziel.

Tags:

Berita Terkait