1) Orang tua membelikan anak sepetak tanah yang kemudian SHM tanah tersebut telah atas nama anak. Namun pasca perceraian orang tua, suami menggugat kembali istrinya atas pembagian harta gono-gini yang dalam gugatan menyertakan pembagian harta gono-gini tanah atas nama sang anak. Apakah harta yang telah jadi hak milik anak (usia anak telah dewasa) dapat disertakan dalam gugatan harta gono-gini? 2) Jika istri membeli tanah dari hasil penjualan tanah warisan orang tuanya saat masih dalam perkawinan, apakah tergolong merupakan harta gono-gini? Bagaimana jika dalam persidangan sang istri dapat memberikan saksi-saksi yang kuat, dapatkah dipisahkan harta tersebut? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Harta gono-gini atau harta bersama merupakan harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung. Istilah harta gono-gini memang lebih populer dibandingkan dengan istilah formal yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu harta bersama.
Bagi yang beragama Islam, apabila terjadi sengketa harta gono-gini, langkah pertama yang bisa diupayakan adalah melakukan musyawarah secara kekeluargaan. Jika tidak berhasil, maka penyelesaiannya menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, kami mengasumsikan keluarga dalam kronologis yang Anda ceritakan beragama Islam dan tunduk pada ketentuan hukum Islam. Patut dipahami secara umum terdapat 4 jenis harta dalam lingkup hukum perkawinan dan kewarisan, yaitu:
Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.[1]
Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.[2]
Harta bersama (gono-gini) adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.[3]
Harta bawaan adalah harta masing-masing suami atau istri yang diperoleh sebelum perkawinan (seperti harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan).[4]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pengertian Harta Gono-Gini
Harta gono-gini (harta bersama) dalam perkawinan merupakan realitas yang hadir dalam masyarakat Indonesia, yang pada mulanya timbul dan berkembang atas dasar adat/tradisi dalam sebuah masyarakat. Dalam kitab fikih tradisional, harta bersama dapat terjadi hanya dengan adanya syirkah sehingga terjadi percampuran harta kekayaan suami istri dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Dengan kata lain, dalam Islam harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain.[5]
Harta bersama di kenal di berbagai daerah di Indonesia dengan beragam sebutan (heureta shaurekat, barang-perpantangan, harta guna kaya, pencaharian, gono-gini, dan sebagainya).[6] Perkembangan selanjutnya atas dasar al-adah muhakkamah, keberadaan harta bersama mendapatkan tempat dalam regulasi (hukum positif) di Indonesia.
Secara khusus, mengenai harta gono-gini (harta bersama) dan harta bawaan diatur dalam Pasal 35, 36 dan 37 UU Perkawinan. Selain itu, dalam KHI disebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.[7]
Kemudian apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.[8]
Adapun jika terjadi perceraian, baik janda atau duda masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.[9]
Bisakah Hibah Orang Tua ke Anak Ditarik Kembali?
Apabila terjadi sengketa harta gono-gini, hal pertama yang dilakukan adalah melakukan musyawarah secara kekeluargaan. Jika tidak berhasil, maka penyelesaiannya menjadi kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana telah kami terangkan di atas.
Sebelumnya perlu dipahami pula, gugatan harta gono-gini dapat diajukan secara terpisah dengan gugatan perceraian setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, atau diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian.[10]
Sehubungan dengan pertanyaan Anda, pemberian (hibah) berupa sebidang tanah dari orang tua kepada anaknya adalah sah-sah saja. Hibah bisa diberikan kepada seseorang yang punya hubungan kekerabatan, maupun tidak. Prinsipnya hibah tidak dapat ditarik kembali. Namun, khusus hibah dari orang tua kepada anaknya dapat saja ditarik kembali, sebagaimana bunyi ketentuan Pasal 212 KHI:
Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada anaknya.
Kemudian menjawab pertanyaan Anda jika orang tua kemudian bercerai, bisakah mengajukan gugatan pembagian harta gono-gini termasuk sebidang tanah yang telah dihibahkan kepada anaknya?
Oleh karena hibah orang tua kepada anaknya dapat ditarik kembali, maka orang tua bisa saja menarik harta tersebut ke status semula sebagai harta gono-gini. Namun perlu diperhatikan, prosedur untuk membatalkan hibah harus dilakukan dengan gugatan tersendiri.
Mengenai pengabulan atau tidaknya gugatan tersebut, bergantung pada kuat atau tidaknya alasan yang diajukannya. Sebagai contoh, Putusan Pengadilan Agama Sungguminasa Nomor 765/Pdt.G/2015/PA.Sgm memutus gugatan pembatalan hibah orang tua terhadap anak dengan alasan antara lain: anak tidak melaksanakan janji dalam hibah yaitu menjaga dan merawat orang tua. Jadi, gugatan pembatalan hibah harus dilakukan secara tersendiri dan tidak digabungkan dalam gugatan perceraian atau gugatan harta gono-gini.[11]
Beli Tanah dari Warisan, Masuk Harta Gono-Gini atau Bawaan?
Selanjutnya, mengenai pembelian tanah dari hasil penjualan tanah warisan orang tua saat masih dalam perkawinan menurut hemat kami termasuk sebagai harta bawaan. Sebab, tanah yang dibeli diperoleh dari warisan, sehingga menjadi hak atau penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain melalui perjanjian perkawinan.
Secara khusus, ketentuan harta bawaan dapat Anda rujuk pada pasal-pasal berikut ini:
Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan
Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masingmasing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 87 ayat (1) KHI
Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagaihadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidakmenentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Dengan demikian, selama bisa dibuktikan bahwa harta tersebut merupakan harta bawaah yang diperoleh dari warisan, maka dapat dikeluarkan dari objek gugatan pembagian harta bersama.
Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006;
Ismail Muhammad Syah. Pencaharian Bersama Suami Isteri di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1978;
Nur Hikma H dan Muh. Jamal Jamil. Analisis Putusan Perkara Pembatalan Hibah Terhadap Anak di Pengadilan Agama Sungguminasa Kelas IB (Studi Kasus Nomor 765/Pdt.G/2015/PA.Sgm). Qadauna, Vol. I Edisi Khusus Oktober 2020.
Putusan:
Putusan Pengadilan Agama Sungguminasa Nomor 765/Pdt.G/2015/PA.Sgm.
[11] Nur Hikma H dan Muh. Jamal Jamil. Analisis Putusan Perkara Pembatalan Hibah Terhadap Anak di Pengadilan Agama Sungguminasa Kelas IB (Studi Kasus Nomor 765/Pdt.G/2015/PA.Sgm). Qadauna, Vol. I Edisi Khusus Oktober 2020, hal. 347