Jika teks atau redaksi undang-undang sudah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya. Makna kalimat itulah yang dapat disimpulkan dari pribahasa Latin interpretatio cessat in claris. Dalam hukum perdata, rumusan dengan makna sejenis dapat dibaca pada Pasal 1342 KUH Perdata, yang menyatakan jika kata-kata dalam perjanjian sudah jelas tidak diperkenankan menyimpanginya dengan cara menafsirkan.
Dalam praktik, adakalanya, hakim perlu membuat penafsiran atas suatu kata, istilah, atau frasa ketika menghadapi peristiwa konkrit. Hakim tidak boleh menolak mengadili perkara dengan dalih tidak ada dasar hukumnya. Maka, hukum memberikan jalan keluar kepada hakim untuk menegakkan hukum melalui perkara yang diperiksanya, berupa interpretasi atau konstruksi hukum.
Hasil interpretasi hakim dalam suatu perkara terkadang menjadi suatu yurisprudensi setelah diakui dan digunakan terus menerus oleh hakim lain dalam perkara yang sejenis atau mirip. Mungkin karena putusan itu sedemikian banyak dikutip dan diperdebatkan oleh akademisi atau komunitas hukum lainnya. Sebaliknya, ada interpretasi hakim atas rumusan pasal yang sama cenderung dilupakan meskipun sebenarnya menarik untuk dipergunakan karena peristiwa konkritnya banyak.
Sebagai contoh adalah pencurian (diefstal) motor. Nyaris setiap hari terjadi tindakan pencurian motor di Indonesia. Banyak yang berhasil, tetapi tidak sedikit pula yang gagal membawa kabur motornya meskipun kunci stang sudah dirusak karena keburu diteriaki maling. Perbuatan pencurian kendaraan roda dua tersebut jelas diancam pidana berdasarkan Pasal 362 KUHP.
