10 Peristiwa Menarik di Parlemen Tahun 2015
Refleksi 2015

10 Peristiwa Menarik di Parlemen Tahun 2015

Kegaduhan membuat minimnya kinerja DPR di bidang legislasi.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Beban DPR periode 2014-2019 kian berat. Proses pergantian rezim dari era pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono ke pemerintahan Joko Widodo beriringan dengan pergantian kekuasaan di parlemen. Sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk dalam terget Prolegnas prioritas 2015 menjadi ukuran kinerja wakil rakyat di parlemen. Sayangnya, sepanjang 2015 target Prolegnas prioritas 2015 jauh panggang dari api. Hanya hitungan jari RUU yang disahkan menjadi UU oleh DPR.

Penyebab, parlemen kian gaduh sepanjang di penghujung 2014 hingga akhir 2015. Sejumlah peristiwa besar mewarnai parlemen.Walhasil, DPR hanya mampu menyelesaikan 1 RUU. Yakni, RUU Penjaminan resmi disahkan menjadi UU di penghujung 2015. Berikut sepuluh peristiwa besar di parlemen yang berhasil di rangkum hukumonline sepanjang 2015.

1. Perseteruan KIH-KMP
Periode DPR  2014-2019 diawali dengan unjuk kekuatan dua kelompok besar  partai pendukung pemerintah yang menamakan Koalisi Indonesia Hebat versus Koalisi Merah Putih (KMP). Perseteruan itu buntut terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR yang diusung dari KMP. Padahal sesuai dengan UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), Ketua DPR dijabat oleh partai pemenang pemilu.

Namun tidak demikian halnya dengan PDIP sebagai partai pemenang. PDIP  seolah menjadi partai oposisi di parlemen. Hal itu pula buntut dari revisi terhadap UU MD3 menjadi UU No.17 Tahun 2014. Isinya, ketua DPR dipilih berdasarkan musyawarah mufakat dan atau voting.

2. Dua Kekuatan Sepakat Revisi UU MD3
Untuk kesekian kalinya UU MD3 kembali direvisi dalam rangka mengakomodir komposisi partai pemenang pemilu. Sebagaimana diketahui, komposisi pimpinan di alat kelengkapan lebih didominasi oleh partai yang tergabung dalam KMP. Sementara partai pendukung pemerintah tak kebagian kursi pimpinan.

Akibatnya, KIH sempat mengajukan mosi tidak percaya terhadap kepemimpinan DPR di bawah tampuk Setya Novanto. Sejumlah pasal yang direvisi antara lain terkait dengan aturan pimpinan yang bertambah menjadi satu kursi. Dengan begitu, pimpinan di alat kelengkapan berjumlah menjadi lima. Dengan komposisi 1 ketua, dan 4 wakil ketua.

3. DPR Berikan Persetujuan Komjen Budi Gunawan Jadi Kapolri
Pergantian tampuk kepemimpinan di tubuh Polri memang di luar kebiasaan. Hitungan bulan masa purna bhakti Jenderal Sutarman menjadi Kapolri dipercepat. Ya, Sutarman pun menanggalkan jabatannya dari kursi Kapolri. Belakangan pergantian pejabat Kapolri menuai polemik. Komjen Budi Gunawan yang digadang-gadangkan bakal menjadi Kapolri ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

“Saling serang’ antara KPK dengan Mabes Polri makin kencang dengan Kabareskrim dijabat kala itu oleh Komjen Budi Waseso. Upaya hukum yang dilakukan Budi Gunawan melalui praperadilan membuahkan hasil. DPR khususnya Komisi III dilematis atas desakan publik. Namun Komisi III mengabaikan desakan publik agar tidak memberikan persetujuan terhadap Budi Gunawan sebagai Kapolri. Walhasil, Budi Gunawan diberikan persetujuan melalui uji kelayakan dan kepatutan. Hasilnya pun diboyong ke rapat paripurna.

4. DPR Lantik Badrodin Jabat Kapolri
Meski DPR sudah memberikan persetujuan terhadap Budi Gunawan menjabat Kapolri, rupanya tentangan publik didengar Presiden Joko Widodo. Jokowi memang sempat gamang. Pasalnya dari internal partai tempatnya bernaung berkeinginan keras Komjen Budi Gunawan menjabat Kapolri.

Namun fakta di lapangan terkait dengan integritas dan trasnparansi Budi Gunawan dinilai berbeda oleh publik. Ya, Presiden Jokowi batal melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Presiden Joko Widodo pun menunjuk Badrodin Haiti menjadi orang nomor satu di tubuh Polri. Meski kecewa, DPR pun akhirnya menggelar uji kelayakan dan kepatutan terhadap Badrodin di Komisi III. Walhasil, dalam sidang paripurna pun seluruh anggota DPR memberikan persetujuan terhadap Badrodin untuk menjadi Kapolri definitif.

5. Pemerintahan Jokowi Serahkan RKUHP ke DPR
Pemerintahan Jokowi menyerahkan draf Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada Komisi III DPR. Pemerintah dan DPR bersepakat bakal merampungkan pembahasan RKUHP dalam kurun waktu dua tahun. Besar harapan publik bakal memiliki hukum pidana nasional, meskipun terdapat banyak persoalan dalam RKUHP.

6. DPR dan Pemerintah Sepakat Revisi UU KPK
Pemerintah dan DPR bersepakat melakukan revisi terhadap UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebelumnya Revisi UU (RUU) KPK masuk dalam long list Prolegnas 2015-2019. Namun setelah bersepakat, DPR dan pemerintah menyepakati RUU KPK masuk dalam Prolegnas prioritas 2015 yang disahkan dalam rapat paripurna. Selang beberapa bulan, pemerintah urung  memberikan draf RUU KPK kepada DPR. Belakangan muncul draf RUU KPK dengan kop surat lembaga kepresidenan yang isinya justru melemahkan KPK.

Ironisnya, adanya pembatasan terhadap lembaga antirasuah untuk dua belas tahun ke depan sejak revisi UU KPK disahkan dan diberlakukan. Tarik ulur merevisi UU KPK pun terjadi. Ledakan kemarahan publik memuncak. Pemerintah dilema. Presiden Jokowi pun melakukan rapat konsultasi dengan pimpinan DPR. Hasilnya, Presiden Jokowi menunda pembahasan RUU KPK.

7. Pembentukan Pansus Pelindo II
Penggeledalan terhadap PT Pelabuhan Indonesia (pelindo) II oleh Bareskrim Mabes Polri mendapat sorotan publik. Kasus dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang pengadaan 10 unit ‘mobile crane’ berujung anti klimak. Pasalnya penggeledahan dengan dipimpinan Kabareskrim Komjen Budi Wases kala itu justru berujung pencopotan.

Ya, Budi Waseso dicopot dari jabatan Kabareskrim menjadi Kepala BNN. Kasus tersebut menyedot perhatian DPR. Sejumlah anggota DPR pun menggulirkan pembentukan Pansus Pelindo Gate. Hingga akhirnya, rapat paripurna pun memberikan persetujuan pembentukan Pansus Pelindo. Seiring bekerjanya Pansus Pelindo, menemukan berbagai temuan.  Misalnya, adanya dugaan  nilai kerugian negara triliunan rupiah.

Di penghujung kerja Pansus, rekomendasi berupa permintaan agar Presiden Joko Widodo memberhentikan Menteri BUMN Rini Soemarno dan Dirut PT Pelindo II RJ Lino. Pasalnya dalam penyelenggaraan pelabuhan di Tanjung Priok itu menabrak sejumlah peraturan perundangan.

8. RUU Pengampunan Pajak dalam Prolegnas Prioritas 2015
DPR menggulirkan keberadaan RUU Pengampunan Pajak. Sontak saja RUU tersebut menjadi polemik di tengah publik. Pro kontra pun tak dapat dihindari. Soalnya publi menduga pengampunan pajak dapat diberikan terhadap mereka koruptor maupun pengemplak pajak yang berada di luar negeri sepanjang membayar beban pajaknya. Setidaknya terdapat sepuluh catatan Fitra terhadap RUU Pengampunan Pajak. Meski demikian, pemerintah akhirnya mengambil usul insiatif RUU Pengampunan Pajak. Alasannya, pemerintahan Joko Widodo  berkepentingan dalam menarik pendapatan negara dari sektor pajak yang belakangan menurun. Walhasil, DPR mengesahkan RUU Pengampunan Pajak masuk dalam Prolegnas 2015 di penghujung tahun.

9. Kasus ‘Papah Minta Saham’  Freeport
Di pengujung November, publik dikejutkan dengan laporan Menteri ESDM Sudirman Said. Sudirman menyambangi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dengan melaporkan Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus ‘papa minta saham’ Freeport. Tak sekedar laporan, Sudirman memboyong bukti rekaman percakapan antara Setya Novanto dengan pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid dan Presdir PT Freeport Indonesia (PTFI) Maroef Sjamoesoedin.

Sejumlah pihak memenuhi undangan MKD untuk memberikan keterangan. Mulai Sudirman Said sebagai pelapor, Maroef selaku perekam percakapan, Setnov pihak teradu hingga Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan yang disebut dalam rekaman pun memberikan keterangan. Sayangnya, Riza Chalid tak juga memenuhi panggilan MKD. Berbeda dengan persidangan Sudirman, Maroef dan Luhut yang digelar terbuka, persidangan Setnov saat diminta keterangan digelar tertutup. Setnov pun memberikan nota pembelaanya dalam sidang tertutup.

Kendati demikian, dalam putusan, mayoritas anggota MKD memberikan penilaian Setya Novanto terbukti melakukan pelanggaran etik. Sayangnya, belum usai persidangan untuk pengambilan putusan, Setya Novanto mengirimkan surat pengunduran diri. Hasilnya, tidak adanya kepastian apakah Setnov diberikan sanksi sedang atau berat. Namun ditengarai, Setnov pun lolos dari sanksi sedang.

10. Komisi III DPR Pilih Lima Pimpinan KPK Jilid IV
Di penghujung 2015, akhirnya Komisi III menggelar uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon pimpinan KPK hasil seleksi Pansel. Delapan calon diberikan persetujuan Presiden Jokowi untuk dikirim ke DPR. Sementara dua calon yang sudah menjalani uji kelayakan dan kepatutan di penghujung 2014 yakni Busyro Muqoddas –mantan komisoner KPK Jilid III- dan Roby Arya Barata mesti menelan pil pahit. Pasalnya dalam uji kelayakan dan kepatutan kali ini keduanya hanya diminta persetujuan mengikuti seleksi kembali. Keduanya pun gagal tidak terpilih oleh Komisi III.

Sementara, Komisi III memiliki pilihan sendiri. Kelima komisoner terpilih itu antara lain Agus Rahardjo, Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Saut Situmorang dan Laode Muhammad Syarif. Sedangkan dalam pemilihan ketua KPK, nama Agus mendapatkan suara melebihi keempat komisoner lainnya dari Komisi III. Walhasil, Agus terpilih menjadi Ketua KPK Jilid IV untuk empat tahun ke depan.
Tags:

Berita Terkait