2018, Pengujian UU ‘Berbau’ Politik Mendominasi di MK
Utama

2018, Pengujian UU ‘Berbau’ Politik Mendominasi di MK

UU Pemilu dan UU MD3 yang paling banyak diuji karena kedua UU itu sangat berkaitan dengan kepentingan politik dalam Pemilu berikutnya.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Artinya, persyaratan ambang batas pasangan capres-cawapres tetap sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari total suara sah hasil pemilu 2014 bagi parpol atau gabungan parpol yang mengusungnya. Pada 2017 aturan ambang batas presiden ini juga telah diuji dan ditolak oleh MK. Melalui putusan No.53/PUU-XV/2017, MK menolak pengujian Pasal 222 UU Pemilu ini.

 

MK menilai ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy). MK juga menolak permohonan uji materi masa jabatan wakil presiden secara berturu-turut seperti diatur Penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu mengenai permintaan tafsir masa jabatan wakil presiden yang dilayangkan pengurus Partai Persatuan Indonesia (Perindo). (Baca Juga: Potensi Ubah Konstitusi, MK Diminta Tolak Uji Masa Jabatan Wapres)

 

Direktur PuSaKO Universitas Andalas, Feri Amsari menilai wajar jika UU Pemilu banyak diuji menjelang Pemilu 2019 sebagai aturan main dalam pemilu dan pilpres. “Jadi, wajar saja UU yang bernuansa politik banyak diuji, karena ini persoalan puas dan tidak puas dalam produk UU dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi UU Pemilu, isunya begitu cepat dan disambung dengan kepentingan politik,” kata Feri kepada Hukumonline, Kamis (17/1/2019).

 

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengingatkan pembuatan UU yang berhubungan dengan proses politik bukan soal mayoritas dan minoritas suara terbanyak, tetapi harus sesuai dengan UUD 1945. “Tapi ini kan tidak, pengesahan UU di DPR saat ini ditentukan mayoritas. Bahkan, aturan yang sudah dibatalkan MK diadopsi kembali dalam UU dengan menggunakan suara mayoritas, bukan melihat substansi yang tidak bertentangan dengan konstitusi,” kata Bayu kepada Hukumonline, Jumat (18/1/2019).

 

Apalagi, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ini merupakan gabungan tiga UU lain yakni UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu; UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif. “Banyak sekali kepentingan dalam UU ini, seharusnya pembuat UU lebih memikirkan isi substansi UU bukan dalih suara mayoritas,” kata Dwi Anggono.

 

Menurutnya, alasan kenapa UU Pemilu dan UU MD3 yang paling banyak diuji karena kedua UU ini sangat berkaitan dengan kepentingan politik DPR sendiri dalam Pemilu berikutnya. “Makanya, mereka berusaha saling memperkuat dan melindungi kelompoknya di parlemen,” ungkapnya.

 

Dia menyarankan seharusnya UU Pemilu dibuat tiga tahun sebelum pemilu berlangsung, agar cukup waktu melakukan uji materi ke MK jika ada ketentuan yang tidak sesuai dengan konstitusi. “Saat ini kan tidak, tahun 2017 UU Pemilu disahkan, tetapi tahun 2018 sudah masuk awal tahapan pencalonan anggota legislatif dan pilpres, waktunya sangat singkat sekali. Saat putusan MK diketok ternyata sudah masuk tahapan pemilu, seperti putusan pencalonan anggota DPD yang tidak boleh dari unsur parpol.”

Tags:

Berita Terkait