Ancaman Penanganan Pandemi Itu Bernama Korupsi
Berita

Ancaman Penanganan Pandemi Itu Bernama Korupsi

Menjaga integritas saat menerapkan kebijakan dan menggunakan anggaran untuk menangani dampak pandemi merupakan tantangan yang luar bisa dan harus mampu dijaga.

M. Agus Yozami
Bacaan 4 Menit
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES
Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: RES

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan tindakan korupsi merupakan ancaman dan tantangan paling besar ketika pemerintah berupaya menangani serta mengatasi dampak pandemi Covid-19 melalui uang negara.

“Pada saat harus bekerja tergesa-gesa cepat dalam suasana emergency, ancamannya korupsi,” katanya dalam acara daring Hari Anti Korupsi Sedunia 2020 di Jakarta, Kamis (10/12).

Sri Mulyani menuturkan potensi terjadi korupsi saat pandemi sangat besar karena pemerintah harus bergerak cepat, fleksibel dan tangkas dalam menangani dampaknya yang meluas secara tiba-tiba kepada masyarakat dan ekonomi. (Baca Juga: Mengapa Mensos Diduga Korupsi Dana Bansos Tak Diancam Hukuman Mati?)

Tak hanya itu, Sri Mulyani mengatakan adanya kelemahan dan ketidaksempurnaan pada ketersediaan data untuk menyalurkan stimulus dan insentif juga menambah potensi korupsi. “Ancaman orang-orang yang melakukan tindakan korupsi atau bahkan menggunakan kelemahan atau ketidaksempurnaan sistem untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.

Terlebih lagi, anggaran yang digunakan untuk memberikan stimulus dan insentif kepada masyarakat mencapai Rp695,2 triliun atau 4,2 persen dari PDB hingga menyebabkan belanja negara membengkak Rp2.739 triliun dengan defisit sebesar 6,34 persen. (Baca Juga: KPK Kaji Ancaman Hukuman Mati Kasus Mensos, Bisakah Terganjal Hak Imunitas Perppu Corona?)

Anggaran yang masuk dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) itu meliputi dukungan di bidang kesehatan Rp97,26 triliun, perlindungan sosial Rp234,33 triliun, sektoral K/L dan Pemda Rp65,97 triliun, UMKM Rp114,81 triliun, korporasi Rp62,22 triliun, dan dunia usaha Rp120,6 triliun.

“Begitu besar angka Rp695,2 triliun ini jadi kita harapkan bisa membuat Indonesia mampu menangani Covid-19, melindungi masyarakat dan dunia usaha agar mereka pulih secara kuat, cepat dan sehat,” katanya.

Oleh sebab itu, ia menegaskan moral hazard terutama menjaga integritas saat menerapkan kebijakan dan menggunakan anggaran untuk menangani dampak pandemi merupakan tantangan yang luar bisa dan harus mampu dijaga.

“Di sinilah ujian integritas jadi sangat penting. Ujian terhadap ikhtiar kita untuk membangun pengendalian internal agar lebih robust menjadi lebih penting,” tegasnya.

Dengan demikian, Sri Mulyani mengatakan pihaknya terus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, maupun BPKP untuk mencegah potensi terjadinya korupsi.

“Ini bukan hanya tanggung jawab pimpinan tapi kita semua karena satu virus korupsi maka satu virus yang mengkompromikan integritas. Sama seperti pandemi dia bisa menular dan bisa membahayakan institusi,” jelasnya.

Perlu Perbaikan

Sri Mulyani menyebutkan kinerja dan integritas dari berbagai institusi di Indonesia masih perlu perbaikan baik yang bersifat publik maupun swasta. “Berbagai survei menunjukkan kita masih perlu untuk memperbaiki kinerja dan integritas institusi-institusi di Indonesia baik publik dan swasta,” katanya.

Dia menyebutkan survei transparansi internasional yang mengukur global corruption barometer di Indonesia mencatatkan sebanyak 30 persen para pengguna layanan publik masih harus membayar sogokan. “Walau angka ini masih lebih baik dari India 39 persen atau Kamboja 37 persen tapi kita tidak boleh sama sekali merasa senang,” tegasnya.

Ia menegaskan hal tersebut sangat mengecewakan karena baik pemerintah daerah maupun kementerian/lembaga (K/L) sudah ditingkatkan tunjangan kinerjanya. Tak hanya itu, berbagai upaya pencegahan adanya tindakan tidak terpuji ini juga telah dilakukan seperti digiatkannya wilayah birokrasi bersih dan melayani serta bebas korupsi.

“Namun kalau 30 persen masyarakat kita mengakui masih harus bayar sogokan untuk pelayanan itu adalah suatu indikator yang perlu dilihat lagi strategi kita dalam memperbaiki birokrasi,” katanya.

Menurutnya, hal tersebut tidak hanya terjadi di pusat tetapi juga sering di daerah bahkan dalam feedback di media sosial masih banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan pelayanan daerah atau pusat.

“Buat mereka pemerintah itu satu. Kita lihat dinas daerah mendapatkan feedback masih tidak baik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ini tertangkap dalam survei transparansi internasional,” katanya.

Sementara, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menilai korupsi adalah musuh utama dan terbesar bagi pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. "Dalam kapasitas sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia, kami menilai korupsi adalah musuh utama dan terbesar bagi pelaksanaan HAM di republik ini karena korupsi memiliki kaitan erat dengan tindakan pelanggaran HAM," kata Firli seperti dilansir Antara.

Korupsi, lanjut dia, bukan hanya kejahatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara semata tetapi juga merupakan kejahatan kemanusiaan sebab banyak negara gagal mewujudkan tujuan dan tugas utama melindungi serta memenuhi hak dasar rakyatnya.

Selain itu, kata dia, korupsi juga telah merampas hak dasar rakyat baik dari sisi sosial, ekonomi maupun budaya karena anggaran program-program pembangunan yang dilakukan pemerintah dan bersumber dari pajak yang disetorkan rakyat untuk dapat kembali dinikmati oleh rakyat tidak dapat berjalan dengan baik bahkan tidak sedikit yang terhenti setelah anggarannya dikorupsi.

Oleh karena, ia mengatakan KPK hadir sebagai penyelenggara negara untuk memberantas korupsi yang telah berurat akar dan menjadi laten di negeri ini. "Sungguh tugas yang tidak mudah, penuh tantangan, dan risiko mengingat tidak sedikit yang masih memandang korupsi adalah hal biasa bahkan menganggapnya sebagai kultur masyarakat Indonesia karena terjadi sejak lama di setiap tatanan kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara," ucapnya.

Dalam tugas memberantas korupsi, ia juga mengingatkan telah cukup banyak risiko diterima KPK yang sejatinya adalah pelanggaran HAM mulai dari percobaan suap, intimidasi, serangan fisik terbuka atau ancaman atas keselamatan jiwa dan raga yang ditujukan bukan hanya kepada KPK tetapi juga keluarganya di rumah.

"Jika segala bentuk risiko tersebut menjadi konsekuensi yang harus kami hadapi, Insya Allah segenap insan di KPK siap menerima dan ikhlas menjalaninya karena kami yakin tugas dan kewajiban ini adalah ibadah yang menjadi bekal di akhirat kelak," kata Firli.

Menurutnya, perlu konsistensi dan pendirian teguh dimulai dari diri sendiri sebagai bagian dari masyarakat dunia yang menginginkan perbaikan dalam penegakan HAM dengan tidak berperilaku koruptif dalam kehidupan sehari-hari agar terhindar dari pusaran korupsi di negeri ini.

Tags:

Berita Terkait