Berbincang dengan Maqdir Ismail tentang Praperadilan
Berita

Berbincang dengan Maqdir Ismail tentang Praperadilan

Mengajukan praperadilan itu bukan kejahatan; ia alat koreksi horizontal.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

 

Lazimnya Anda menyarankan praperadilan atau tersangka yang jadi klien Anda yang meminta ajukan? 

Ya, kadang-kadang dua-duanya, umumnya itu karena diskusi. Setiap orang yang ketemu kami kan kita bikin semacam peta awal: perkara ini apa sih? Kalau orang ditersangkakan dikenakan pasal ini, benar enggak? Pertanyaannya kita praperadilan atau tidak?. Yang celakanya kalau berurusan dengan KPK, kalau orang melakukan perlawanan seolah-olah dianggap kejahatan padahal orang menggunakan hak membela diri dari awal supaya jelas ini perbuatan pidana atau bukan kalau ada pidana, buktinya cukup atau tidak. Mestinya kan mereka berterima kasih dengan praperadilan. Meskipun kadang-kadang kalau kita persoalan kerugian negara, hakim ngeles, itu sudah masuk pokok perkara tapi kan enggak bisa gitu. Harus ada bukti permulaan kerugian negaranya. 

 

Bagaimana pasal yang lain (dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)? 

Juga termasuk pasal yang lain, itu yang kita persoalkan. Kalau orang ini terima suap atau  gratifikasi, mesti jelas ada atau tidak suapnya, gratifikasinya. Kalau terlambat lapor, kenapa? Kayak kasusnya Romi (maksudnya M. Romahurmuziy. Maqdir kuasa hukum Romi—red)) dia enggak lapor karena mau mengembalikan melalui orang lain. Dia menghornati orang lain. Kalau dia lapor, orang-orang sponsor ini kan akan dipanggil. Akan rusak hubungan baik. Ini yang tidak ditampung di hukum acara kita.

 

(Baca juga: Pengadilan Tolak Praperadilan Eks Sekretaris MA, Begini Pertimbangannya)

 

Salah satu yang dikritik Maqdir adalah pemaknaan ‘tertangkap tangan’. KPK sering melakukan tangkap tangan, termasuk Romi. Terakhir, KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan. Berdasarkan KUHAP, ‘tertangkap tangan’ adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.

 

Dalam konteks itulah ia melayangkan kritik terhadap OTT yang dilakukan KPK. Menurut Maqdir, ‘tangkap tangan’ itu karena kejadian, bukan diikuti. “Kalau orang dibuntuti siang malam, berbulan-bulan itu kan namanya interrupt (penyergapan) dalam hukum pidana kita. KPK kan punya fungsi pencegahan,” ujarnya. Ia lalu bercerita tentang kasus Romi, Nurhadi, dan kasus Bupati Muara Enim Ahmad Yani. Tentu saja, Maqdir tidak bekerja sendirian. Setiap mengajukan praperadilan, ia bersama sejumlah advokat lain.

 

Adakah tim khusus saat mengajukan praperadilan?

Tidak. Kami semua bersama-sama menangani perkara pokok dan praperadilan. 

 

Adakah perubahan komposisi pengacara, misalnya memberikan tanggung jawab khusus kepada advokat lain pada kasus tertentu? Kami melihat Anda turun langsung setiap praperadilan.

Tidak. Kami sama-sama, kita selalu sama-sama. Memang kadang draft awal dari saya kadang-kadang dari teman yang lain baru kita perbincangkan, kita ‘sembelih’, kita kuliti, kelemahan dimana, kekuatan dimana, teori seperti apa. Maka kita sebaik mungkin membaca teori, baik di perkara praperadilan atau perkara pokok. 

 

Stigma masyarakat untuk praperadilan cenderung negatif, seperti melakukan ‘perlawanan’. Bagaimana pandangan Anda? 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait