Bersyaratnya Hak dan Kewajiban Uang Kompensasi PKWT
Kolom

Bersyaratnya Hak dan Kewajiban Uang Kompensasi PKWT

Uang kompensasi salah satu politik hukum pemerintah. Uang kompensasi bentuk respons terhadap aksi pekerja yang sejak lama menuntut pemerintah menghapus PKWT.

Bacaan 8 Menit

Merujuk pada hukum positif, secara umum dikenal 6 (enam) macam hak pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), yaitu: (1) uang pesangon (Upes); (2) uang penghargaan masa kerja (UPMK); (3) uang penggantian hak (UPH); (4) uang pisah (Upis); (5) uang ganti rugi (UGR); (6) uang kompensasi (UK). Sesuai kaidahnya, yang berhak menerima hak pada angka 1 sampai dengan angka 4 adalah pekerja ikatan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Sedangkan hak pada angka 5 dan 6 merupakan hak pekerja ikatan PKWT.

Meskipun keenam hak di atas diatur di dalam PP dan UU Ketenagakerjaan, keenamnya tidak bersifat absolut. Menurut hukumnya, keenam hak tersebut, karena alasan tertentu, implementasinya bisa bersifat alternatif. Karena alasan itu, pekerja PKWTT berpotensi mendapatkan UPMK tetapi tidak berhak menerima uang pesangon. Bahkan terdapat kemungkinan pekerja hanya menerima UPH dan uang pisah dengan tanpa pesangon.

Sekarang jelas, yang berhak memperoleh komponen hak di atas adalah pekerja yang memenuhi syarat. Hukum positif mensyaratkan, bahwa untuk mendapatkan komponen hak pada angka 1 – angka 3 secara kumulatif, selain harus memenuhi masa kerja, harus dipastikan, pekerja di PHK bukan karena melanggar syarat kerja. Syarat seperti itu memberi petunjuk bahwa pekerja berpotensi mendapat kompensasi nilai maksimal atau minimal. Merujuk pada kaidah tersebut, perilaku pekerja di dalam dan di luar tempat kerja memengaruhi haknya pada saat di PHK. Bisa ditegaskan, pekerja berstatus PKWTT sedari awal tidak bisa dipastikan akan menerima kompensasi hak pada angka 1 – angka 4. Begitu juga pekerja ikatan PKWT, berpotensi tidak mendapat komponen hak sebagaimana dimaksud pada angka 5 dan angka 6. Prinsipnya, untuk mendapatkan hak dengan nilai maksimal, pekerja tidak boleh melanggar kaidah hukum heteronom maupun otonom.

Alasan Pengecualian

Ketentuan dari UU ketenagakerjaan, sejauh tidak diubah atau dihapus oleh UU Ciker, ketentuan itu berlaku sebagai hukum positif. Oleh karena itu UU Ciker dan aturan pelaksananya tidak bisa dipisahkan dari UU Ketenagakerjaan. Merujuk pada Pasal 61 ayat (1) huruf d UU Ketenagakerjaan, pengusaha dapat mengatur syarat untuk tidak memberikan UK. Peluang pengusaha ke arah itu didasarkan pada alasan: a. Sama dengan UGR, UK merupakan hak bersyarat; b. Yang berhak menerima UK adalah pekerja PKWT yang waktunya berakhir bukan karena melanggar hukum atau syarat kerja. Ketentuan yang bisa dipedomani membebaskan pengusaha membayar UK, yaitu: a. Pasal 61 ayat (1) huruf d UU Ketenagakerjaan; d. Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 35 tahun 2021.

Alasan PHK tanpa pesangon dan UPMK ditemukan di dalam penjelasan Pasal 52 ayat (2) PP No. 35 tahun 2021 yang disebut alasan mendesak. Jenis-jenis perbuatan di dalam ketentuan itu merupakan contoh belaka. Kaidah Pasal 52 ayat (2) bersifat terbuka. Ketentuan itu memberikan hak kepada pengusaha untuk merinci lebih banyak jenis perbuatan di dalam PK, PP atau PKB sebagai alasan mendesak.

Memberi kewenangan seperti itu kepada pengusaha muncul karena 4 (empat) alasan: (1) jenis perbuatan yang termasuk sebagai alasan mendesak di dalam Pasal 52 ayat (2) hanya merupakan contoh yang bersifat umum; (2) contoh perbuatan di dalam penjelasan Pasal 52 ayat (2) tidak cukup mengakomodir jenis perilaku spesifik lainnya pada sektor industri tertentu; (3) masing-masing sektor industri memiliki karakteristik dan sensitivitas yang berbeda; (4) pengusaha lebih mengetahui perbuatan yang dapat merugikan atau membahayakan perusahaan.

Ketika PP mengatakan UK sebagai hak pekerja dan wajib dibayar ketika waktu PKWT berakhir, hal itu memberi kesan bahwa pengusaha wajib membayar UK sekalipun PKWT berakhir karena pekerja melanggar syarat kerja atau hukum. Memberikan perlakuan yang sama kepada pekerja yang melanggar hukum dan yang tidak melanggar hukum untuk menerima UK dengan nilai yang sama justru akan menciptakan ketidakadilan bukan saja kepada pengusaha tetapi juga kepada sesama pekerja. Kalau pekerja yang mentaati syarat kerja atau hukum diberikan hak yang sama dengan yang melanggar syarat kerja atau hukum, hal seperti itu mengajarkan pekerja yang lain untuk melanggar syarat kerja atau hukum. Oleh karena itu, pengusaha beralasan memberikan hak yang lebih baik kepada pekerja yang setia mematuhi syarat kerja atau hukum. Bisa dikatakan, pekerja yang berhak menerima UK adalah pekerja yang waktu kontraknya berakhir tanpa melanggar hukum atau syarat kerja. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait