Desakan Tunda Pembahasan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Menguat, Ini Alasannya
Berita

Desakan Tunda Pembahasan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Menguat, Ini Alasannya

​​​​​​​Rumusan RUU ini sangat menekankan pada pendekatan “state centric”, sehingga gagal untuk memberikan kejelasan untuk memastikan perlindungan keamanan individu.

Moch Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

“Dengan demikian, tidak cukup alasan untuk DPR tergesa-gesa membahas RUU ini. Jikapun terjadi serangan siber maka institusi yang ada sudah bisa digunakan untuk menangani insiden tersebut,” terang Erwin Natosmal dari Indonesian Legal Roundtable (ILR).

 

Baca:

 

Selanjutnya, meskipun dalam salah satu pasal dalam RUU dikatakan dalam penyelenggaraan keamanan dan ketahanan siber harus selalu mengedepankan penghormatan terhadap hak asasi manusia, namun jika membaca keseluruhan rumusannya, justru kental nuansa pembatasan terhadap kebebasan sipil. Menurut Direktur Imparsial, Al Araf, pembatasan kebebasan sipil dari RUU ini bisa dilihat dari pemberian wewenang yang sangat besar bagi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk melakukan tindakan penapisan konten dan aplikasi eletronik.

 

“Salah satunya nampak dari pemberian wewenang yang sangat besar bagi BSSN untuk melakukan tindakan penapisan konten dan aplikasi elektronik,” ujar Al Araf.

 

Untuk itu, RUU ini selain berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan dengan pengaturan serupa yang telah ada dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik, juga memberikan ruang yang sangat luas bagi tindakan penyeleksian terhadap konten/aplikasi yang berbahaya. Pertanyaan berikutnya, apa klasifikasi tindakan berbahaya sebagaimana definisi RUU ini?

 

RUU ini juga mengatur cakupan dan prosedurnya yang akan datur lebih lanjut dengan peraturan BSSN. Hal ini berarti memberikan kewenangan yang sangat besar bagi BSSN. Dari ketentuan ini jelas terlihat bahwa RUU ini gagal menerjemahkan aspek penghormatan terhadap hak asasi manusia, karena dari perumusannya justru berpotensi akan mengancam kebebasan sipil.

 

Lebih jauh, dengan pemberian kewenangan yang begitu besar, khususnya bagi BSSN dalam pengelolaan keamanan di ruang siber, RUU ini juga sama sekali tidak menghadirkan kerangka pengawasan bagi pelaksanaan kewenangan yang besar tersebut. Akibatnya potensi penyalahgunaan kekuasaannya (abuse of power) juga besar, mengingat besarnya kewenangan yang dimiliki untuk mengendalikan segala aspek kehidupan siber di Indonesia. Dengan potensi itu, lagi-lagi RUU ini juga belum menghadirkan kerangka pemulihan yang memadai, khususnya bagi masyarakat pengguna—warga negara.

Tags:

Berita Terkait