Dalam pemeriksaan kasasi, MA menemukan bahwa pertimbangan yang mendasari PTUN Jakarta membatalkan putusan MKDKI lebih pada aspek prosedural yaitu tidak menerapkan asas “mendengarkan kedua belah pihak” (audi et alteram partem). Padahal MKDKI telah mendengar pandangan pihak teradu/tergugat.
Menanggapi hal ini, pengamat hukum Rocky Marbun menyatakan bahwa tindakan MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi merupakan tindakan yang sudah seharusnya. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, kompetensi atau ranah kedua pengadilan tersebut –perdata dan tata usaha negara- berbeda. “Putusan TUN dan Perdata itu berbeda kajian dan ranahnya. Kalau putusan TUN itu berkaitan dengan administratif, putusan perdata berkaitan dengan sengketa hak,” ujarnya melalui sambungan telepon kepada hukumonline.
Kedua, putusan PTUN -yang membatalkan Keputusan MKDKI No. HK.01.02/03/KKI/VII/2013 dan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) No. 19/KKI/Kep/VI/2013 tentang Pelaksanaan Keputusan MKDKI- yang mendasari keluarnya putusan Pengadilan Tinggi Jakarta merupakan tindakan yang tidak tepat.
Baca:
- Begini Cara Hakim Menambal KelemahanLembaga Fiktif Positif
- Shidarta: Putusan Pengadilan yang Bagus Perlu Sering Diapresiasi
- Terbukti Novum Palsu, Bisa Menjadi Dasar Pengajuan PK Kedua
PTUN merupakan tempat untuk memeriksa pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan (norma). Sementara tindakan pelanggaran disiplin kedokteran yang ditemukan oleh MKDKI merupakan ranah etika profesi, sehingga, menurut Rocky, tidak bisa dibatalkan oleh PTUN. Sekalipun dalam pemeriksaan PTUN, ditemukan adanya pelanggaran prosedur (tidak mendengar keterengan kedua belah pihak) MKDI, namun fakta berupa pelanggaran terhadap disiplin kedokteran yang telah terjadi tidak bisa dikesampingkan.
“Etik lebih tinggi daripada norma. Jadi kalau putusan MKDKI itu sudah menyatakan adanya pelanggaran etik, norma tidak boleh masuk. Kalau pelanggaran terhadap asas itu, harusnya diulang MKDKI nya, bukan dibatalkan. Jadi memang hakim itu tidak punya kewenangan untuk menilai etika. Yang punya kewenangan untuk menilai etika adalah majelis etika,” tegas Rocky.
Berkaitan dengan ini, mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa etika adalah sesuatu yang lebih luas cakupannya dari hukum. Terhadap aturan perundang-undangan, sifatnya lebih umum sedangkan undang-undang lebih spesifik. “Etika itu samudra, hukum itu kapal. Maka kapal hukum itu memerlukan air supaya dia bisa berfungsi untuk keadilan. Kapal hukum tidak akan sampai ke pulau keadilan kalau samudra etikanya kering,” terang Jimly.