Doktrin Joint Authorship sebagai Parameter Penentuan Pencipta dalam Karya Hak Cipta
Kolom

Doktrin Joint Authorship sebagai Parameter Penentuan Pencipta dalam Karya Hak Cipta

Pemerintah bersama dengan DPR harus mempertimbangkan pengadopsian prinsip ini dalam rezim hak cipta di Indonesia dengan adanya globalisasi yang semakin berkembang pesat.

(ki-ka) Helen Solagratiaputri/Tazkia Nafs Azzahra/Nafila Andriana Putri. Foto: Istimewa
(ki-ka) Helen Solagratiaputri/Tazkia Nafs Azzahra/Nafila Andriana Putri. Foto: Istimewa

Ketentuan mengenai karya yang diciptakan lebih dari satu orang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) yang menyebutkan bahwa sebuah ciptaan dapat dibuat oleh beberapa orang secara bersama-sama. Meskipun telah dengan jelas disebutkan bahwa sebuah karya dapat diciptakan oleh beberapa orang, peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak menjelaskan secara lebih lanjut terkait parameter seberapa besar kontribusi yang harus diserahkan agar seseorang dapat dikatakan sebagai seorang pencipta sesuai yang disebutkan dalam rezim UU Hak Cipta. Dalam menjawab parameter tersebut, negara-negara di berbagai belahan dunia seperti Amerika Serikat menganut doktrin joint authorship untuk menentukan kontribusi seseorang dalam sebuah ciptaan.

Joint authorship sendiri terjadi ketika dua atau lebih pencipta bermaksud untuk membuat sebuah karya dan memberikan kontribusi penciptaan terhadap karya tersebut (LaFrance, M. (2021). Joint Authorship and Dramatic Works: A Critical History). Sejarah terkait joint authorship dipengaruhi besar oleh perkembangan tradisi teater Anglo-Amerika yang berakar di Inggris pada abad keenam belas. Pertumbuhan eksplosif teater profesional pada abad keenam belas dan awal abad ketujuh belas terjadi pada saat kolaborasi ada di mana-mana, bahkan di antara beberapa pencipta naskah paling terkenal.

Namun ketika industri berubah, mulai muncul masalah terkait ciptaan yang diciptakan oleh beberapa orang secara bersama-sama. Pada abad-abad berikutnya, perselisihan yang melibatkan karya-karya dramatis memiliki dampak besar pada pengembangan konsep yang berkaitan dengan unsur kolaboratif. Karya-karya dramatis terus memainkan peran besar dalam kasus-kasus utama pada penciptaan bersama di bawah Copyright Act tahun 1976. Copyright Act tahun 1976 memberikan definisi undang-undang pertama tentang joint authorship dengan mengkodifikasi doktrin joint authorship seperti yang telah dikembangkan dalam kasus-kasus hukum yang terjadi sebelumnya. Sebelum Copyright Act tahun 1976, hak cipta bersama hanya ada dalam tataran hukum yang belum dikodifikasi (Brophy, S. C. (1993). Joint Authorship Under the Copyright Law).

Baca juga:

Doktrin joint authorship pertama kali muncul dalam kasus Aalmuhammed vs. Lee pada tahun 1999. Doktrin ini digunakan karena Copyright Act 1976 hanya mendefinisikan mengenai joint work dan tidak mendefinisikan apa itu pencipta. Dalam kasus itu, hakim menggunakan tiga unsur untuk menentukan bahwa seseorang adalah pencipta dari ciptaan. Pertama adanya kontribusi yang original dan memberikan daya tarik pada ciptaan. Kedua memiliki kontrol terhadap pembuatan ciptaan. Ketiga, seluruh pencipta memiliki niat bersama untuk menjadi pencipta dari ciptaan tersebut.

Penerapan unsur ini dapat ditinjau lebih jauh melalui kasus Brod vs. General Publishing Group pada tahun 2002. Kasus ini dimulai dari Collins, seorang penulis buku, meminta Brod yang merupakan seorang fotografer untuk memotret televisi antik untuk dipublikasikan dalam bukunya. Dalam pemotretan tersebut, Brod dan Collins bekerja sama. Collins membersihkan dan menyiapkan televisi antik serta alat peraga lainnya.

Selain itu, sebelum Brod menekan tombol shutter pada kameranya, Collins melihat foto uji coba polaroid awal dari setiap gambar yang dihasilkan Brod dan memberikan saran mengenai perubahan yang menurutnya tepat. Ketika gambar yang dihasilkan telah sesuai dengan kehendak Collins, kemudian Brod mengembangkan foto tersebut ke dalam bentuk transparansi. Dalam melakukan publikasi buku yang ditulis oleh Collins dan memuat foto televisi antik tersebut, Collins melakukan kontrak dengan penerbit yaitu General Publishing Group. Akhirnya, diterbitkanlah buku berjudul The Age of Television. Setelah mengetahui buku tersebut terbit, Brod mendaftarkan hak cipta foto televisi antik tersebut atas namanya dengan judul Compilation of Photographs atau alternatifnya yaitu The Age of Television.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait