Fauzie Yusuf Hasibuan: Era Digital Ubah Paradigma Pelayanan Advokat
Profil

Fauzie Yusuf Hasibuan: Era Digital Ubah Paradigma Pelayanan Advokat

Penguatan organisasi perlu dilakukan sekaligus pembelajaran bagi advokat.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi begitu cepat dan tak mungkin dihindari. Termasuk oleh mereka yang berprofesi sebagai advokat. Menyikapi perkembangan teknologi informasi itu, Peradi tidak skeptis. Sebab, kami memandang bahwa era digital yang begitu cepat berproses akan mengubah paradigma berfikir para advokat Indonesia terutama dalam memberikan pelayanan hukum. Misalnya, Peradi memanfaatkan perkembangan teknologi informasi itu lewat data keanggotaan dan beberapa pelayanan. Di era digital, advokat tak bisa lagi mengandalkan tatap muka dengan klien. Pemberian legal opinion bisa memanfaatkan kemajuan teknologi sehingga lebih efisien, terkoneksi dengan cepat. Tetapi saya percaya advokat dank lien tetap harus terkoneksi harus tetap ada interaksi, apalagi yang litigasi. Ada rasa nyaman dan aman bagi klien jika bertemu atau didampingi oleh lawyer-nya. Demikian juga untuk alasan perlindungan data yang dimiliki klien. Jadi, ke depan, firma hukum pada umumnya atau advokat pada khususnya memang dituntut untuk memberikan pelayanan yang responsif, aman dan ekonomis. Ada pergeseran pelayanan, transformasi dari pelayanan konvensional ke pelayanan berbasis digital.

 

Dalam dua tahun terakhir, DPN Peradi juga telah berusaha melakukan pendekatan standar global. Pertama, Peradi memberikan pelayanan informasi dan kebutuhan administrasi kepada seluruh anggota di Indonesia dengan memanfaatkan teknologi informasi. Kedua, Peradi juga intens melakukan kerjasama dengan International Bar Association (IBA) guna mempersiapkan advokat Indonesia menjalin jaringan atau networking sekaligus memasuki komunitas advokat internasional. IBA juga sudah menaruh kepercayaan kepada Indonesia, dimana tahun ini kemungkinan akan digelar lagi pertemuan internasional di Bali. Mungkin digelar pada Juli mendatang. Ini adalah wujud concern DPN Peradi pada dampak globalisasi dan perkembangan teknologi terhadap pelayanan advokat. Ketiga, berkaitan dengan kegiatan pro bono pun Peradi telah menjalin kerjasama dengan Law Council Australia. Ini sebaga bagian dari upaya Peradi memperkuat dan membuka access to justice. Keempat, pengetahuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa melalui mediasi. Peradi telah bekerjasama dengan Asian Mediation Association (AMA) dan konferensinya yang ke-5 digelar di Jakarta dihadiri puluhan negara Ini juga bagian dari kebutuhan global. Kelima, sebagai bagian dari pemanfaatan teknologi, Peradi bekerjasama dengan Microsoft untuk mempersiapkan kantor advokat yang modern. Masih banyak upaya lain yang menunjukkan bagaimana seharusnya organisasi advokat dan firma hukum memasuki era digita seperti sekarang.

 

Berapa jumlah advokat asing per akhir 2018 yang dapat rekomendasi dari Peradi?

Kehadiran advokat asing di Indonesia adalah bagian dari globalisasi pelayanan hukum itu. Tetapi ada prosedur yang harus ditempuh para pengacara asing itu ketika memberikan jasa hukum di Indonesia. Mereka wajib mengikuti Pendidikan Khusus Advokat Asing yang materi kurikulumnya ditekan pada kode etik profesi advokat, fungsi dan peran advokat di Indonesia, serta UU Advokat. Selanjutnya mereka mengikuti ujian. Hanya yang lulus ujian yang berhak mendapatkan rekomendasi. Sepanjang periode 2005-2019, DPN Peradi telah menerbitkan 560 rekomendasi bagi advokat asing.

 

Perlukah pengaturan lebih detil tentang masalah ini?

Harmonisasi aturan yang mengikat advokat asing berpraktek dilakukan sejumlah pihak. Pemerintah sebagai regulator sekaligus pemberi izin kerja, sedangkan Peradi berperan sebagai pemberi rekomendasi.

 

Kalau ya, bagian mana dan apa yang harus diperjelas?

Regulasi harus memberikan jaminan dan kepastian tentang tata laksana pekerjaan advokat asing. Demikian pula sanksi, perlu ketegasan aturan sanksi bagi bagi advokat asing. Yang lain adalah memperjelas tupoksi pengawasan advokat asing yang bekerja di Indonesia. Butuh sinergi para pemangku kepentingan agar harmonisasi regulasi ini berjalan dengan baik.

 

Advokat Indonesia terus bertambah jumlahnya. Apakah pernah dilakukan analisis kebutuhan, berapa jumlah advokat yang ideal?

Mengenai proporsi jumlah advokat dengan jumlah penduduk, ada pendekatan yang dapat digunakan. Misalnya di Amerika Serikat satu advokat berbanding kurang dari 400 orang penduduk. Di Jepang, yang menggunakan Civil Law, satu advokat sebanding dengan 10.000 orang penduduk. Ini tentu karena warga Jepang punya budaya malu yang berpengaruh pada upaya mereka membawa kasus ke pengadilan. Jika model Amerika yang dipakai, maka Indonesia membutuhkan lebih kurang 625 ribu advokat. Sebaliknya, jika model Jepang yang dipakai, kita membutuhkan kurang dari 25 ribu advokat. Seingat saya Profesor Satjipto Rahardjo pernah menyinggung pendekatan ini.

Tags:

Berita Terkait