'Kehilangan Anak Adalah Cobaan Terberat Bagi Saya'
Berita

'Kehilangan Anak Adalah Cobaan Terberat Bagi Saya'

Gempa dan badai tsunami yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara menyisakan banyak cerita duka, termasuk yang menimpa korps kehakiman. Berikut penuturan Ardi, seorang hakim PN Banda Aceh yang kehilangan buah hatinya kepada hukumonline.

Gie
Bacaan 2 Menit
'<i>Kehilangan Anak Adalah Cobaan Terberat Bagi Saya</i>'
Hukumonline
Setumpuk tugas di hari Senin sudah dibayangkan oleh Ardi. Maklum, di penghujung 2004, beberapa perkara menunggu untuk disidangkan. Ia tak pernah menyangka, Senin itu ia tidak akan pernah bertemu lagi dengan putrinya maupun sebagian rn kerjanya di PN Banda Aceh.

Di luar dugaan, ombakpun menghempaskan tubuh Ardi sampai terseret sejauh 30 meter. Untungnya ia masih sempat berenang. Tak sempat lagi  Ardi melawan ombak untuk menarik istri dan kedua anaknya. Saat itu, istri Ardi sempat memeluk putra-putri mereka. Namun, dalam terjangan air, pelukan itu terlepas. Istri dan putra sulung mereka, Satya beruntung tersangkut di pohon melinjo.

Namun, Alia Adilla Putri, bocah cilik yang Februari nanti genap berumur tiga tahun tahun ikut terseret air bah. Tak patah semangat, ketika air mulai sedikit surut, mahasiswa angkatan 1984 yang memperoleh gelar sarjana hukumnya dari Universitas Indonesia ini terus mencari putrinya. Dengan baju yang melekat di badan, ia masih berusaha mencari putri kecilnya dengan segala harapan.

Dua hari berlalu, di tengah reruntuhan kota Banda Aceh, mayat-mayat yang mulai membusuk dan tubuhnya yang mulai melemah, Ardi akhirnya menghentikan pencariannya. Tidak terbayangkan olehnya untuk mengeruk lumpur setinggi satu meter lebih dalam situasi stres dan lemah. Sampai akhirnya, ia pasrah kepada yang Khalik. Membiarkan Tuhan merawat putrinya dimanapun peri kecilnya berada.

Di tengah kepedihannya, Ardi menyempatkan diri untuk melapor kepada ketua PN Banda Aceh, Saparudin Nasution. Di rumah ketua PN, mereka ditawarkan untuk tinggal. Namun, mereka memilih mengungsi ke pedesaan di pinggir Banda Aceh yang jauh dari pantai. Alasannya, istri dan anaknya masih trauma dengan situasi kota yang hancur lebur.

Sampai hari ini (5/1), Ardi yang kini berada di rumah kerabatnya di Jakarta dan belum menemukan putrinya. Bersama beberapa hakim yang bertugas di Aceh, ia telah bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan.

Ardi saat ini masih diberi kesempatan untuk beristirahat. Namun, kalau toga itu harus dipakai kembali di tanah rencong, Ardi menyatakan siap. Hanya saja, istri dan anaknya tidak lagi bisa menginjak tanah itu, tanah dimana putrinya mungkin berada.

eka

Minggu (26/12) pagi, Ardi yang tinggal di Lamtemen Barat dan baru bertugas empat bulan di Banda Aceh itu, masih sempat melihat putrinya sarapan pagi disuapi istrinya. Sekitar pukul delapan pagi, suasana santai hari Minggu itu pun perlahan berubah menjadi mimpi buruk. Ardi menuturkan kepada hukumonline, sekitar jam delapan, wadah air mineral di rumahnya goyang, pecah dan jatuh. Tanpa berpikir akan terjadi sesuatu bencana, Ardi masih sempat membersihkan lantai rumahnya sampai tiba-tiba tetangganya berlari  berhamburan mengingatkan datangnya air itu.

Ya, air itu, yang kemudian disebut tsunami, mulai berkejar-kejaran dengan warga sekitar. Ardi yang sempat diperingatkan oleh seorang warga yang berlari-lari, segera mengambil langkah seribu. Ia menyalakan mesin mobilnya dan tancap gas  sekuat-kuatnya. Tak hanya memboyong kedua anak dan istrinya, sang hakim masih sempat mengajak tetangganya.

Sedan berisi 11 penumpang itu berlari secepat mungkin menghindari air. Namun apa daya, baru menempuh jarak 10 meter, mereka akhirnya harus bertemu air itu juga. Ketika air mulai menggenangi sedan kecil miliknya, iapun berusaha keluar dari mobil. Ia kemudian bermaksud mengeluarkan keluarga dan tetangganya dari dalam mobil.

Halaman Selanjutnya:
Tags: