Ini Syarat Kebijakan Pengampunan Pajak Dapat Diterapkan
Berita

Ini Syarat Kebijakan Pengampunan Pajak Dapat Diterapkan

Mulai membangun data identitas hingga kepemilikan aset wajib pajak yang terparkir di luar negeri.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: HLM
Foto ilustrasi: HLM
Kegagalan pemerintah di era orde lama dan orde baru  dalam penerapan kebijakan pengampunan pajak lantaran tidak disiapkannya sistem berbasis data yang akurat. Oleh sebab itu, kebijakan pengampunan pajak mesti dilakukan kajian mendalam sebelum diterpakan. Hal ini disampaikan Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran Indonesia Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas, kepada hukumonline, Jumat (4/3).

Menurutnya, kesiapan basis data wajib pajak yang dimiliki Direktorat (Ditjen) Pajak menjadi syarat mutlak dalam penerapan kebijakan pengampunan pajak. Tak saja data perseorangan, namun pula korporasi. Sistem berbasis data itu tak saja identitas wajib pajak, namun juga aset yang dimiliki wajib pajak. Keberadaan aset wajib pajak korporasi mesti sudah dapat didata oleh Ditjen Pajak. Dengan begitu, negara sudah dapat menakar pendapatan dari sektor pajak terhadap mereka wajib pajak korporasi.

Kekuatan data dalam penerapan pengampunan pajak menjadi hal yang tak dapat dipisahkan. Basis data kelembagaan yang baik menjadi penopang bagi Ditjen Pajak. Ironisnya, pemerintah belum memiliki data keberadaan dan jumlah uang yang dilarikan pengemplang pajak.

Menurutnya, Indonesia telah melakukan kesepakatan dengan Organization for Economic Co-operation and Development (EOCD) terkait pertukaran informasi antar bank yang akan diterapkan 2017 mendatang. Bila pemerintah ingin menerapkan pengampunan pajak, sebaiknya setelah adanya basis data mulai kekayaan wajib pajak, transaksi, dan wajib pajak warga negara Indonesia yang berada di luar negeri.

Syarat lainnya adalah regulasi. Peraturan perundangan yang mengatur pemberian pengampunan pajak mesti disinkron dengan perundangan lainnya. Misalnya, kata Firdaus, ketika terdapat seseorang melakukan pidana pajak, apakah akan berpengaruh dengan penerapan pengampunan pajak. Pertanyaan lainnya, dengan penerapan pengampunan pajak, negara mendapatkan pendapatan atau sebaliknya.

Menurutnya, tidak ada angka yang jelas pendapatan negara dengan penerapan pengampunan pajak. Oleh sebab itu, kata Firdaus kajian dan penguatan sistem berbasis data mulai aset kekayaan negara yang terparkir di Singapura misalnya, mesti sudah terdeteksi. 

“Sehingga ini kan masih tebak-tebak buah manggis. Ini kepentingan jangka pendek. Jadi yang harus dilakukan pemerintah itu memperbaiki basis data pajaknya,” ujarnya. 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny Sucipto, mengatakan kegagalan penerapan kebijakan pengampunan pajak pada 1964 dan 1984 menjadi pelajaran berharga. Sejumlah persoalan seperti lemahnya sistem administrasi perpajakan mesti diperbaiki Kementerian Keuangan. Perbaikan data perpajakan dari sektor sumber daya alam juga mesti menjadi sorotan. 

Tak kalah penting, sanksi tegas terhadap tindakan hukum kepada mereka yang tidak membayar royalti dan pajak tidak terbayar. Sementara data dari sektor BUMN pun mesti dipetakan. Misalnya dari 144 BUMN, mesti dipetakan mana saja yang dapat memberikan kontribusi bagi APBN.

“Dari sisi kelembagaan memang belum tertata. Dari sistem transparansi dan akuntabilitas belum terbangun. Jadi masih banyak kepanikan di dalam kontribusi di dalam penerimaan. Alasan klasiknya seperti itu, tetapi sistemnya tidak pernah dibangun dengan baik,” ujarnya.

Yenny berpandangan sepanjang persyaratan tersebut tak diperbaiki pemerintah, maka penerapan pengampunan pajak akan sia-sia dan tak bermanfaat banyak bagi pendapatan negara. Ia mengaku pesimis ketika sistem berbasis data dan perangkat lainnya tidak diperbaiki, justru penerapan kebijakan pajak bakal berujung meminta pinjaman luar negeri. Pasalnya, harapan mendapatkan tambahan penerimaan pajak dengan kebijakan pengampunan pajak justru fiskal negara menajdi defisit.

“Kalau tidak sesuai target ujung-ujungnya hutang,” katanya. 

Direktur Eksekutif Institute for Develeopment of Economics Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengamini pandangan Yenny dan Firdaus. Menurutnya, data base wajib pajak yang dimiliki Ditjen Pajak menjadi kekuatan dalam penerapan kebijakan pengampunan pajak. Dengan perbaikan sistem data base, justru harapan mendapatkan tambahan penerimaan negara dapat melebihi dari Rp60 triliun sebagaimana harapan pemerintah.

“Kalau data base pajak diperbaiki, maka tambahannya bukan cuma Rp60 triliun, tapi bisa dapat Rp100 triliun, mestinya dengan perbaikan data base target bisa tercapai,” katanya. 

Menurutnya, perbaikan data base tak saja di Ditjen pajak, tetapi juga di data kependudukan. Ia berpendapat ketika seseorang ingin membuka usaha dan mendapatkan perizinan, maka secara otomatis wajib pajak dapat terdeteksi dengan munculnya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Makanya, ketika data base kependudukan berjalan baik diimbangi dengan data base pajak maka akan memperluas cakupan wajib pajak.

“Sebelum Tax Amnesty diberlakukan, perbaiki dulu sistem dan asas keadilan harus dibangun dulu. Ini pertanyaan besar yang harus dijawab Dirjen Pajak. Bagaimana mereka melaukan perbaikan data base. Kalau data kependudukan sudah tersusun rapi, kemudian perizinan usaha sudah terintegrasi maka bisa terkoneksi dengan NPWP. Tapi ini saja belum beres,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait