Jalan Terjal, Berduri, dan Berkerikil Tajam Bernama Kemerdekaan Berekspresi
Feature

Jalan Terjal, Berduri, dan Berkerikil Tajam Bernama Kemerdekaan Berekspresi

Sudah banyak korban berjatuhan. Terluka hingga bermandikan darah dan air mata. Kasus terkini menyeret dua aktivis HAM, Haris dan Fatia. Demokrasi di Indonesia makin dipertanyakan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 7 Menit

Dalam periode kasus berjalan, Haris mengaku tak banyak yang berubah dari kehidupannya. Bahkan usai ditetapkan sebagai tersangka, tak ada hal khusus yang dia lakukan karena dirinya seratus persen yakin tak melakukan kesalahan yang dituduhkan oleh Luhut Binsar Panjaitan. Sisi positifnya, dia bisa mengatur waktu dengan baik karena dituntut datang tepat waktu ke persidangan. Namun, dalam beberapa kondisi pekerjaannya sebagai advokat profesional sedikit terhambat. Dia menyebut beberapa pihak yang menjadi rekan kerja di pemerintahan sedikit menjaga jarak. Haris juga terpaksa membatalkan beberapa pertemuan internasional demi menjalani persidangan.

Haris melihat kasus “Lord” ini sebagai sesuatu yang lucu. Menurutnya, sebelum kata ‘Lord’ dia sematkan di depan nama Luhut dalam video di akun Youtube pribadinya, publik sudah mengkaitkan kata “Lord” kepada sosok Luhut. “ ‘Lord’ Luhut itu kata yang sudah banyak digunakan kepada Luhut Binsar Panjaitan. Nah kok tiba-tiba di saya dia marah, disebut melukai perasaannya,” ujar Haris.

Padahal, lanjutnya, seharusnya penyelenggara negara memeriksa temuan 9 organisasi tersebut, bukan malah mempersoalkan hal remeh seperti penggunaan kata “Lord” dalam video podcast. “Enggak penting banget,” celetuknya. Di balik itu, Haris merasa lega atas putusan bebasnya, kendati masih ada satu tahap lagi yang harus dihadapi yakni kasasi yang diajukan jaksa ke Mahkamah Agung (MA).

Hukumonline.com

Haris Azhar saat berbincang dengan Hukumonline. 

Strategi Kuasa Hukum

Senin 8 Januari 2024 lalu, tercatat menjadi hari bersejarah bagi Haris dan Fatia. Keduanya dibebaskan dari segala dakwaan. Pada pertengahan November tahun lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan Haris dan Fatia telah memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) jo. UU ITE jo Pasal 55 ke-(1) KUHP. Jaksa menuntut Haris dengan hukuman penjara 4 tahun dan denda Rp 1 juta subsider 6 bulan kurungan. Sementara tuntutan yang dimohonkan JPU untuk Fatia berupa kurungan selama 3 tahun 6 bulan. Jaksa juga meminta agar link Youtube Haris Azhar dihapus dari jaringan internet.

Putusan bebas ini tentu tak lepas dari peran tim kuasa hukum Haris-Fatia yang dikomandoi Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur. Dia menceritakan penyusunan strategi dari timnya untuk membebaskan Haris-Fatia dari segala dakwaan JPU. Langkah dimulai dari membangun pembuktian dan argumentasi yang didasarkan pada fakta keterlibatan Luhut dalam pertambangan di Distrik Sugapa, Intan Jaya, Papua. Penemuan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan 9 Lembaga Masyarakat Sipil, yang kemudian dipublikasi oleh Haris dan Fatia dalam sebuah podcast.

Tim kuasa hukum juga menguatkan peran Haris-Fatia sebagai pembela Hak Asasi Manusia (HAM) lewat eksepsi. Adapun hal yang dilakukan keduanya merupakan sebuah kritik kepada pemerintah terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Intan Jaya. Jika merujuk pada Pasal 66 UU No.32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, kedua kliennya tidak dapat digugat baik secara pidana maupun perdata. Pasal tersebut berbunyi, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.

“Kedua, kita melihat dakwaan disusun dengan tidak cermat. Karena itu bukan sebuah kalimat yang merendahkan atau kalimat yang menyerang. Sejak awal kita coba runtuhkan ini, bahwa ini adalah perkara yang sumir,” jelas Isnur.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait