Jalan Terjal, Berduri, dan Berkerikil Tajam Bernama Kemerdekaan Berekspresi
Feature

Jalan Terjal, Berduri, dan Berkerikil Tajam Bernama Kemerdekaan Berekspresi

Sudah banyak korban berjatuhan. Terluka hingga bermandikan darah dan air mata. Kasus terkini menyeret dua aktivis HAM, Haris dan Fatia. Demokrasi di Indonesia makin dipertanyakan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 7 Menit

Di sisi lain, Isnur bersama tim menghadirkan ahli-ahli berkompeten yang bisa menguatkan argumentasi mereka terkait kasus Haris-Fatia, seperti Ahmad Sofian, Rocky Gerung, dan juga Faisal Basri. Termasuk menggunakan argumentasi-argumentasi dan keterangan ahli yang dihadirkan JPU, yang justru dinilai menguntungkan kliennya.

Keberhasilan ini, lanjut Isnur, tak luput dari peran Haris-Fatia dalam memberikan argumentasi hukum dan pembelaan dalam persidangan. Apalagi keduanya memiliki latar belakang sebagai aktivis yang sudah sering bersinggungan dengan persoalan hukum. Ia juga menyebut peran media dan masyarakat yang terus mengawal persidangan Haris-Fatia dari awal hingga putusan dibacakan.

“Masyarakat, pengunjung itu perhatiannya sangat luar biasa. Apalagi dibuatlah pemberitaan, membuat ruang sidang menjadi arena pendidikan, ruang sidang menjadi arena panggung yang sangat terbuka untuk publik melihat bagaimana jalannya persidangan,” ujarnya.

Hukumonline.com

Suasana haru usai pembacaan putusan Haris-Fatia di PN Jakarta Timur. 

Kebebasan Berpendapat dan UU ITE

Kasus yang menyeret Haris-Fatia hanyalah segelintir dari banyak kasus yang dinilai melemahkan dan mempersempit ruang demokrasi. Bisa juga disebut dengan kriminalisasi terhadap ekspresi di ranah digital. Haris sepakat jika ruang demokrasi di Indonesia terus mengalami penurunan dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan. Kondisi ini, lanjutnya, tak lepas dari adanya praktik pembagian kekuasaan dan keuntungan bisnis.

Hingga hari ini, Haris masih melihat awan gelap dalam kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir, kebebasan menyampaikan informasi, dan kebebasan mencari informasi di Indonesia. Dari berbagai kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan UU ITE, laporan justru kerap berasal dari pejabat publik. Klaim ini setidaknya dibuktikan lewat hasil laporan Triwulan yang dikeluarkan oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet).

Kehadiran UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahkan dinilai melanggengkan kriminalisasi terhadap aktivis atau masyarakat yang melemparkan kritik kepada pejabat pemerintah beserta kebijakannya. Pasal 27 ayat (3) UU ITE bisa menjadi senjata untuk membunuh persona karena tidak masuk ke problem utama seperti yang terjadi dalam kasusnya.

Terlepas dari adanya revisi Pasal 27 ayat (3) UU ITE—yang justru semakin membahayakan kebebasan berpendapat—, satu hal yang menjadi sorotan Haris adalah soal penegak hukum.

Tags:

Berita Terkait