Jimly: Omnibus Law Mestinya untuk Penataan Regulasi Menyeluruh
Utama

Jimly: Omnibus Law Mestinya untuk Penataan Regulasi Menyeluruh

Jimly mengusulkan RUU Pemindahan Ibukota Negara dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Kalimantan Timur (Kaltim) dapat dijadikan contoh penerapan omnibus law sebagai pilot project pertama (perdana) ketimbang omnibus law pada RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU UMKM.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Menurutnya, RUU Pemindahan Ibukota Negara dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Kalimantan Timur (Kaltim) dapat dijadikan contoh penerapan omnibus law sebagai pilot project pertama (perdana) ketimbang omnibus law pada RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU UMKM. Sebab, terdapat banyak UU terkait proses pemindahan ibukota negara.

 

Sejumlah UU yang menyebut eksplisit frasa “ibukota negara” semestinya diaudit dan bahan pertimbangan mengenai perlu atau tidaknya ibukota dipindahkan ke Penajam Paser Kaltim. “Jumlahnya tidak kurang dari 30-an UU yang mengatur berbagai UU kelembagaan atau komisi negara yang menyebut frasa ‘ibukota negara’. Jika ini tidak diubah niscaya semuanya harus ikut dipindahkan ke Penajam,” kata dia.

 

Yang pasti, kata dia, rencana pemerintah ingin memindahkan ibukota negara berimplikasi akan mengubah banyak UU sebagai landasan hukum memulai langkah konstitusional. Dia menilai tanpa UU yang menentukan pemindahan ibukota negara secara bertahap berdampak terhadap penetapan anggaran belanja pembangunan setiap tahunnya melalui APBN tak dapat dilakukan.

 

“Sebab pemindahan ibukota memerlukan persetujuan bersama antara presiden dan DPR, serta memperhatikan pertimbangan dan pendapat DPD sebagai lembaga perwakilan kepentingan  daerah seluruh Indonesia,” ujarnya.

 

Butuh ahli dan sistem

Lebih jauh Jimly berpandangan penerapan sistem omnibus law memerlukan banyak tenaga ahli auditor hukum yang profesional dan pengembangan sistem audit hukum elektronik yang secara khusus menata sistem peraturan perundangan di Indonesia. Mengingat peraturan perundang-undangan di Indonesia jumlahnya sangat banyak. Bila ditelusuri setiap kementerin/lembaga tidak memiliki data akurat berapa jumlah produk peraturan perundang-undangan yan ada.  

 

“Karena bila ditelusuri secara konvensional (manual) amat sulit diketahui secara detil, kecuali menggunakan jasa teknologi informasi dan komunikasi yang terus mengalami perkembangan.”

 

Belum lagi, ditambah dengan putusan tata usaha negara dan produk ajudikasi berupa putusan lembaga peradilan dan lembaga quasi peradilan yang jumlahnya sedemikian banyak di seluruh Indonesia. “Informasi hukum Indonesia sangat rumit dan kompleks untuk bisa diharapkan bersifat terpadu dan terintegrasi dalam satu kesatuan sistem negara hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,” katanya.

Tags:

Berita Terkait