Kemenag Wacanakan Aturan Penghimpunan Zakat Profesi Bagi ASN
Berita

Kemenag Wacanakan Aturan Penghimpunan Zakat Profesi Bagi ASN

Pemerintah merasa perlu memfasilitasi ASN untuk menunaikan kewajibannya mengeluarkan zakat dari penghasilan yang dimilikinya.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit

 

Pelaksanaan ibadah haji misalnya, negara ikut memfasilitasi. Dalam hal puasa, negara juga memfasilitasi warganya untuk tahu kapan memulai dan mengakhirinya. Itulah kenapa ada sidang itsbat. “Demikian halnya dengan zakat. Yang mewajibkan adalah agama. Pemerintah memfasilitasi umat muslim untuk berzakat. Dalam konteks ini, negara ingin memfasilitasi ASN Muslim untuk menunaikan kewajibannya,” ujarnya.

 

Menag menjelaskan, bahwa ada dua prinsip dasar dari rancangan regulasi ini. Pertama, fasilitasi negara sehingga tidak ada kewajiban, apalagi paksaan. “Bagi ASN muslim yang keberatan gaji nya disisipkan sebagai zakat, bisa menyatakan keberatannya. Sebagaimana ASN yang akan disisipkan penghasilannya sebagai zakat, juga harus menyatakan kesediaannya,” tutur Menag.

 

(Baca Juga: Penyimpangan Distribusi Zakat, Pahami Aspek Hukumnya)

 

“Jadi ada akad. Tidak serta merta pemerintah memotong atau menghimpun zakatnya,” sambungnya.

 

Prinsip kedua, kebijakan ini hanya berlaku bagi ASN muslim. Sebab, Pemerintah perlu memfasilitasi ASN muslim untuk menunaikan kewajibannya. Kewajiban itu tentunya bagi ASN Muslim yang pendapatannya sudah mencapai nishab (batas minimal penghasilan yang wajib dibayarkan zakatnya).

 

“Mereka yang penghasilannya tidak sampai nishab, tidak wajib berzakat. Jadi ada batas minimal penghasilan yang menjadi tolak ukur. Artinya ini juga tidak berlaku bagi seluruh ASN muslim,” katanya.

 

Secara operasional, dana zakat ini nantinya akan dihimpun oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang didirikan oleh ormas Islam dan kalangan profesional lainnya. Potensinya sekitar Rp10 triliun. Zakat yang dihimpun nantinya akan digunakan untuk kemaslahatan masyarakat, baik untuk pendidikan, pesantren, madrasah, sekolah, beasiswa, rumah sakit, ekonomi umat, termasuk untuk membantu masyarakat yang mengalami musibah bencana. “Ini seperti yang selama ini sudah dilakukan BAZNAS dan LAZ,” tuturnya.

 

“BAZNAS dan LAZ setiap tahun diaudit akuntan publik. Melalui aturan ini, kami ingin menambahkan agar secara periodik mereka juag harus menyampaikan ke publik tentang progres penghimpunan dan pendayagunaan zakat. Ini juga terkait trust atau kepercayaan,” sambungnya. 

 

(Baca juga: MK: Amil Tradisional Tak Perlu Izin Baznas)

 

Fasilitasi zakat, kata Menag Lukman, sebenarnya bukan hal baru. Sebab, Indonesia sudah memiliki UU No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Dari UU itu, lahir Peraturan Pemerintah (PP) No. 14 Tahun 2014 tentang pelaksanaan UU No.23 Tahun 2011. Lalu, ada Instruksi Presiden (Inpres) No.3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat Di Kementerian/Lembaga, Sekretariat Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah Melalui Badan Amil Zakat Nasional.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait