Kemenristekdikti Bakal Revisi Aturan Program Profesi Advokat
Utama

Kemenristekdikti Bakal Revisi Aturan Program Profesi Advokat

Dengan mendengarkan masukan para organisasi advokat agar tidak lagi menjadi polemik.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (APHI) Prof Faisal Santiago menilai penyusunan Permenristekdikti 5/2019 tidak menjadikan putusan MK No. 95/PUU-XIV/2016 sebagai dasar. Sebagai akademisi, dia sebenarnya tidak mempersoalkan keterlibatan perguruan tinggi dalam hal pendidikan advokat. Seharusnya pendidikan profesi advokat mengacu pada UU No.18 Tahun 2013 tentang Advokat yang terbit lebih dahulu ketimbang UU Pendidikan Tinggi.

 

“Kemenristekdikti tak perlu mengatur lebih jauh soal pendidikan advokat. Sebab, proses rekrutmen advokat sudah diatur jelas dalam UU Advokat dan Putusan MK,” kata dia dalam kesempatan yang sama.   

 

Mengintervensi advokat

Ketua Bidang Pendidikan Profesi Advokat dan Berkelanjutan Peradi kubu Luhut Pangaribuan, Irianto Subiakto menilai negara seolah ingin mengatur lebih jauh soal profesi advokat melalui Permenristekdikti 5/2019. Bila Kemenristekdikti ingin terlibat dalam pendidikan profesi advokat, tak menjadi masalah. Hanya saja seharusnya sebatas menyusun kurikulum pendidikan profesi advokat. Dan soal perekrutan dan penyelenggaraan pendidikan menjadi kewenangan organisasi advokat

 

“Mengapa Permenristekdikti ini bisa dibuat? Kita lihat ini justru ingin mengambil alih, bukan memperbaiki. Negara mau mengontrol profesi advokat,” ujarnya.

 

Dia menyarankan berbagai kekurangan dalam aturan tersebut secepatnya segera diperbaiki. Kemenristekdikti, seharusnya duduk bersama dengan organisasi advokat yang ada. “Kementerian yang menerbitkan, dia pula yang harus memperbaiki dengan melibatkan berbagai organisasi advokat. Dikti harusnya ketuk pintu organisasi advokat, supaya rekrutmennya bagus. Pengajar juga bagus. Hayo bicara baik-baik,” katanya.

 

Anggota Komisi Pendidikan Kongres Advokat Indonesia (KAI) Ibrahim menilai semestinya antara penyelenggaraan pendidikan profesi advokat satu kesatuan dalam satu peraturan. Dalam konteks ini, PKPA mengacu pada UU Advokat, sementara PPA merujuk pada UU Pendidikan Tinggi. Hal ini tentu membingungkan calon advokat jalur PKPA atau PPA seperti diatur Permenristekdikti 5/2019.

 

“Kalau seperti ini, diam-diam negara berupaya mengintervensi advokat,” kata dia.

 

Baginya, kewenangan pendidikan advokat berada di UU Advokat yang dikuatkan dengan putusan MK. “Bila Kemenristekdikti ingin mengevaluasi PKPA semestinya dimulai dari pendidikan hukum di perguruan tinggi,” saran dia.

Tags:

Berita Terkait