Kewajiban Praeparatoire (Persiapan) Jilid III
Kolom Hukum J. Satrio

Kewajiban Praeparatoire (Persiapan) Jilid III

Artikel ini merupakan kelanjutan artikel sebelumnya yang membahas pertanyaan apakah debitur masih bisa memperbaiki kekurangannya setelah kreditur melancarkan somasi?

Bacaan 2 Menit

 

Jadi perumusan di atas mau mengatakan, bahwa sebelum jatuhnya waktu bagi kedua belah pihak untuk berprestasi -dalam perjanjian timbal balik ada kewajiban pada kedua belah pihak- salah satu pihak boleh menyatakan ia tidak mau memenuhi kewajiban prestasinya. Dalam peristiwa demikian, maka pihak lain dalam perjanjian sudah boleh langsung menggugat pihak yang menyatakan tidak mau berprestasi, sekalipun prestasi itu belum jatuh tempo. Tindakan atau pernyataan yang demikian didasarkan atas doktrin anticipatory breach atau anticipatory repudiation of contract.

 

Kiranya kira perlu tahu apa itu yang dimaksud dengan “breach of contract“.  Katanya “there is a breach of contract whenever one or both parties fail to perform the contract”.  Dan yang penting adalah akibatnya terhadap perjanjian yang bersangkutan, yaitu  “A contract is discharged by breach if, when one party breaks the contract, the other accepts the contract as ended“ (Ronald E. Anderson – Walter A Kumpf, “Business Law, Principle and  Cases “, al. 187). 

 

Selanjutnya kita perlu tahu, apa maksud istilah “repudiation“ dalam common law. Menurut Black’s Law Dictionary, repudiation adalah: “a contracting’s party word or action that indicate an intention not to perform the contract in the future“ (vide hal. 542). Jadi repudiation bukan pembatalan, tetapi suatu pernyataan atau tindakan/sikap, yang menunjukkan, bahwa yang bersangkutan tidak mau berprestasi.

 

Yang penting adalah, apa akibat dari repudiation? Katanya, repudiasi “can discharge the non breaching party from performance “ kalau pihak yang non-repudiating treat this early repudiation as a breach dari perjanjian (Kenneth W. Clarkson et all, hal. 322). Dari kata-kata “the non breaching party“ kita bisa menyimpulkan, bahwa pihak yang menyatakan tidak akan memenuhi kewajiban perikatannya, telah melakukan “breach of contract“, telah melanggar perjanjian.

 

alau kita simak dengan cermat, maka -dengan cara berpikir civil law- tentunya akan timbul pertanyaan, bagaimana kita bisa mengatakan, bahwa salah satu pihak telah “breach the contract“, kalau saat pemenuhan kewajiban perjanjian belum tiba? Karenanya ada yang merasa, bahwa ada keanehan di sini (vide James C. Gulotta Jr., Anticipatory breach -- a comparative analysis, dalam Tulane Law Review, hal. 928).

 

Namun demikian Lord Campbell dalam salah satu pertimbangannya -dalam perkara tersebut di atas- mengatakan: “But it cannot be laid down as a universal rule that, where by agreement an act is to be done on a future day, no action can be brought for a breach of the agreement till the day for doing the act arrived“.

 

Di sini kita lihat perbedaan cara berpikir antara common law dengan civil law. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah: “…. where there is a contract to do an act on a future day, there is a relation constituted between the parties in the meantime by the contract, and that they impliedly promise that in the meantime neither will do anything to the prejudice of the other inconsistent with that relation”. Jadi ada semacam kewajiban praeparatoire, yaitu untuk  mempersiapkan perjanjian dengan iktikad baik.

 

J. Satrio

Tags:

Berita Terkait