Kewenangan Panitia Urusan Piutang Negara untuk Menagih Piutang Bank BUMN/BUMD
Terbaru

Kewenangan Panitia Urusan Piutang Negara untuk Menagih Piutang Bank BUMN/BUMD

PUPN dapat mengeluarkan Surat Paksa (SP), Surat Perintah Penyitaan (SPP), Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan, Lelang, Paksa Badan, Pencegahan ke Luar Negeri, Piutang Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT), dan sebagainya.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 8 Menit

 

Pada 2003, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara sebagaimana saat ini diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU BUMN). Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada persero dan/atau perum, serta perseroan terbatas lainnya. Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kapitalisasi cadangan, dan sumber lainnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat (1) jo Pasal 1 ayat 10 jo Pasal 4 UU BUMN. 

 

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 4 ayat (1) UU BUMN, terdapat pemisahan antara kekayaan BUMN dan kekayaan negara. Arti dipisahkan tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1), pemisahan kekayaan dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, tetapi pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. 

 

“Dari ketentuan pasal tersebut, nampak bahwa dengan dipisahkannya dari APBN maka modal/kekayaan negara menjadi terpisah hubungannya dengan APBN, sehingga ketika harta kekayaan itu dimasukkan/disetor kepada BUMN membawa akibat, yaitu peralihan hak milik menjadi kekayaan BUMN. Harta kekayaan tersebut tidak lagi dalam naungan negara,” ujar Ebenezer Sianipar. 

 

Sementara itu, menurut Associate IABF Law Firm, Malik Aufari, hal tersebut dapat dimaknai bahwa BUMN sebagai badan hukum memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri maupun pengurusnya. 

 

“Sebelum pemerintah melakukan pemisahan kekayaan negara dalam rangka penyertaan BUMN, aset tersebut masih berstatus aset publik, karena sebelum penyertaan modal terjadi, negara masih berstatus sebagai badan hukum publik yang tunduk dengan hukum publik. Namun, setelah BUMN berdiri, kedudukan negara sebagai badan hukum publik seketika bertransformasi menjadi badan hukum privat, yaitu melakukan pendirian badan hukum BUMN, sehingga terjadilah transformasi dari uang publik menjadi uang privat,” Malik Aufari menambahkan. 

 

Dalam periode setelah terbitnya UU BUMN, mulai terdapat kerancuan mengenai kewenangan PUPN melaksanakan pengurusan piutang negara yang berasal dari instansi pemerintah dan badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab apa pun. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, berdasarkan Pasal 8 Perpu 49/1960 dan penjelasannya, definisi piutang negara merupakan jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara termasuk BUMN. Di sisi lain, setelah terbitnya UU BUMN disampaikan bahwa dalam BUMN terjadi pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN sehingga dapat dimaknai BUMN sebagai badan hukum memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan negara.

 

Pada 2012, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 tertanggal 17 September 2012 (Putusan MK 77/2011) demi hukum menyatakan frasa ‘badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara’ pada Pasal 8 Perpu 49/1960 bertentangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum. Adapun, pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menjatuhkan Putusan MK 77/2011 adalah karena setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Badan Usaha Milik Negara serta Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, seharusnya piutang BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing BUMN sebagai perseroan terbatas yang telah dipisahkan kekayaannya dari kekayaan negara yang dalam menjalankan segala tindakan bisnisnya termasuk manajemen dan pengurusan piutang masing-masing BUMN yang bersangkutan dilakukan oleh manajemen BUMN yang bersangkutan dan tidak dilimpahkan kepada PUPN. Implikasi dari Putusan MK 77/2011 adalah BUMN tidak lagi dapat melimpahkan penagihan piutangnya kepada PUPN.

Tags:

Berita Terkait