​​​​​​​Kisah 3 Pejuang Antikorupsi
Tokoh Hukum 2018:

​​​​​​​Kisah 3 Pejuang Antikorupsi

​​​​​​​Ketiganya memiliki cara berjuang yang berbeda-beda, sesuai dengan kewenangan dan profesi mereka, terus konsisten meski hambatan yang dihadapi tak mudah.

ABE/HMQ/NEE
Bacaan 2 Menit

 

“Artinya, saya menerapkan hukum pidana antikorupsi ini dengan sangat ketat, tidak ada celah untuk negosiasi. Kalau di Majelis saya mesti perintahkan untuk segera ditahan. Supaya ini tidak menjadi bahan perdebatan di Jaksa, ini mau ditahan apa tidak?” kata Artidjo.

 

Modus-modus yang kerap digunakan pejabat pun seringkali berhasil ditangkis Artidjo, di antaranya alasan bahwa Pasal 2 UU Tipikor dianggap tidak bisa dikenakan terhadap pejabat, sehingga unsur setiap orang itu diusahakan untuk dialihkan ke Pasal 3 yang mengakibatkan hukumannya dapat beralih menjadi 1 tahun.

 

Di Kamar Pidana MA, ada kesepakatan bahwa jika nilai korupsinya diatas Rp100 juta, maka otomatis dikatakan memperkaya diri, sehingga sekalipun judex factie menerapkan Pasal 3 dengan hukuman 1 tahun penjara, maka ketika masuk ke MA mesti diterapkan Pasal 2. (Baca Juga: Artidjo Alkostar: Seleksi Calon Hakim Ad Hoc Tipikor Diperketat)

 

Begitu ringannya ‘tangan Artidjo’ dalam memperberat vonis-vonis terdakwa korupsi bukan berarti semua itu dilakukannya dengan mulus, bahkan bisa dikatakan Artidjo sudah ‘kenyang’ dengan teror, ancaman hingga ‘santet’ yang kerap kali dialamatkan kepadanya. Hebatnya, ia tetap teguh pada keyakinan yang ia genggam. Selain karena mantan ‘orang LBH’, darah Madura yang mengalir deras ditubuhnya itulah yang diyakini Artidjo berhasil membentuk karakternya yang tegas, jujur, berani dan tak kenal kompromi.

 

Di masa-masa awal Artidjo menjabat sebagai Hakim Agung-pun, tak terbendung banyaknya tamu berdatangan menawarkan uang serta beragam tawaran menggoda lainnya. ‘Saking geramnya’ Artidjo dengan para tamu tak diundang itu sempat membuat dirinya menempelkan sebuah tulisan tepat di pintu ruang kerjanya yang berbunyi ‘Tidak menerima tamu yang ingin membicarakan perkara’.

 

Di mata Artidjo, orang tidak dihormati karena pakaiannya atau hartanya, sebaliknya kehormatanlah yang harus menjadi pakaian. Karena dalam dirinya tidak ada beban, Artidjo bisa berdiri dengan mata tegak. "Keluar dari MA meski jalan kaki, tetapi dengan tegak," ujarnya mantap. Alhasil, Artidjo bisa menikmati perannya sebagai hakim agung dengan kesederhanaan dan kejujuran.

 

Puncaknya, berita pensiunnya Artidjo pada 1 Juni lalu, seperti membawa ‘angin segar’ bagi banyak terdakwa korupsi. Sontak pasca pensiunnya mantan Hakim Agung sang punggawa keadilan ini pada 1 Juni 2018 lalu, para terdakwa koruptor langsung beramai-ramai mengajukan upaya hukum PK.

 

Ketua MA M. Hatta Ali dalam buku biografi berjudul Artidjo Alkostar: Titisan Keikhlasan, Berkhidmat untuk Keadilan misalnya, mengaku kenal Artidjo sejak tahun 2005 yang merupakan seniornya di MA. Hatta menilai Artidjo sosok yang sederhana dan bersahaja. “Sebagai pemimpin Ketua Kamar MA, Artidjo sangat disiplin, patuh dan selalu menuntaskan tugas-tugasnya dengan baik tanpa menunggu perintah atasan, sehingga meringankan tugas saya sebagai Ketua MA,” ungkap Hatta.

 

Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif mengatakan susah mencari sosok teladan seperti Artidjo Alkostar. Baginya, keberadaan sosok Artidjo membuat rasa kepercayaan publik kepada institusi MA semakin meningkat. “Putusan-putusan hukuman berat Artidjo bagi para koruptor memberi ‘kesejukan’ bagi masyarakat. Ia penegak hukum yang berkarakter,” sebutnya.

 

  1. Trimoelja D. Soerjadi

Terngiang kembali ucapan sosok advokat langka di Tanah Air tercinta Indonesia. Sosok yang bangga menyebut dirinya ‘advokat pedesaan’ itu tak lain adalah almarhum Trimoelja Darmasetia Soerjadi. Tepat setahun silam hukumonline mendapatkan kesempatan berharga mewawancarai Pak Tri—begitu ia akrab disapa—secara khusus di kantor hukumnya di Surabaya. Wawancara khusus itu sekaligus menjadi perpisahan karena beberapa bulan kemudian Pak Tri tutup usia pada usia 79 tahun.

 

Entah apa yang akan diucapkan Pak Tri ketika faktanya daftar advokat yang ditangkap OTT KPK kian panjang. Belakangan, seorang advokat muda berusia 20-an yang baru dua tahun diambil sumpah sebagai advokat pun menjadi tersangka dalam OTT KPK. Ini belum termasuk para advokat yang terseret pusaran hitam kasus kliennya hingga berujung sama-sama duduk di kursi pesakitan.

 

Dunia hukum Indonesia semakin merindukan sosok teladan semacam Pak Tri. Salah satu yang layak dikenang dari sosoknya adalah kebersahajaan. Ia dikenal sebagai advokat yang menangani kasus-kasus yang menarik perhatian publik. Kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah salah satunya. Kasus pembunuhan ini menjadi perhatian nasional dan internasional karena memperlihatkan represi kekuasaan terhadap aktivitas gerakan buruh.

 

Kali lain, Trimoelja menunjukkan komitmennya untuk membela kasus-kasus yang menimpa kalangan pers. Ia, misalnya, menjadi pengacara yang mengadvokasi gugatan terhadap keputusan Menteri Penerangan Harmoko. Sebaliknya, ia tak menolak mewakili tentara untuk menggugat media massa. Kasus Ahok menjadi kasus besar terakhir yang ditanganinya.

 

Puluhan tahun menjadi advokat, banyak di antara perkara yang ditanganinya tanpa honorarium. Di lain waktu, silih berganti pula datang klien yang siap membayar mahal asalkan kasusnya pasti menang. Namun jawaban Pak Tri tegas, “Maaf, Aanda bukan butuh lawyer semacam saya, cari saja lawyer lain.”

 

Seorang advokat junior pernah mengeluhkan sikap Trimoelja yang acapkali pilah pilih kasus dan banyak memberi layanan pro bono. Advokat junior itu mengatakan akan sulit ‘makan’ (mendapatkan nafkah) kalau meniru cara-cara Trimoelja. Kepada advokat junior, Trimoelja mengatakan bahwa sudah ada yang mengatur rezeki. “Rezeki datangnya dari Allah. Kalau kita di jalan yang lurus, semuanya apa  yang kita dapat itu kan barokah,” ujarnya.

 

Hukumonline.com

Trimoelja D Soerjadi saat ditemui Hukumonline akhir tahun lalu di kantornya di Surabaya. Foto: NEE

 

Ini bukan berarti Trimoelja selalu berkecukupan sehingga tak membutuhkan uang ketika menjalankan profesi advokat. Dalam wawancara dengan Hukumonline, ia mengaku pernah mengalami krisis keuangan luar biasa. Berbulan-bulan tak ada perkara yang datang untuk menjadi sumber pemasukan. “Jangan dikira perjalanan saya sebagai advokat itu mulus. Pernah dua kali saya krisis keuangan. Ember itu ibaratnya sudah kelihatan dasarnya,” kenangnya.

 

Nyatanya Pak Tri terus mampu bertahan dengan idealismenya. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan, ia menolak ketika diajak membuka kantor di Jakarta. Kantor sederhana yang dirintis di kampung halamannya terasa lebih menyenangkan. Kantornya di Jalan Embong Sawo No. 16 Surabaya terbilang sederhana untuk advokat sekaliber Trimoelja D Soerjadi. Kantor ini berupa dua bangunan berbentuk rumah satu lantai yang berdempetan.

 

Halamannya cukup luas dengan pagar bercat kombinasi warna merah dan putih. Namun hanya terparkir sebuah mobil ford hitam dan dua buah sepeda motor di sana. Gambaran soal kantor Trimoelja runtuh total saat memasuki pintu salah satu bangunan rumah yang tertempel tulisan jam buka dan tutup kantor. Hanya ada dua buah meja kerja di ruangan yang juga berfungsi sebagai ruang tunggu. Pengakuan Trimoelja, selain satu orang sekretarisnya yang menyambut, hanya ada tiga advokat lain yang membantunya di kantor ini.

 

“Rumah keluarga, belum dibagi waris,” kata Trimoelja menjelaskan ihwal gedung kantornya saat wawancara berlangsung. Bangunan ini adalah rumah keluarganya sejak tahun 1953 tinggal di Jalan Embong Sawo.

 

Kesederhanaan kantornya tak menurunkan martabat dan prestasi kepengacaraan yang telah dibangun Pak Tri sejak puluhan tahun lalu. Sejarah mencatat banyak kasus yang sudah ditanganinya. Filosofi hidupnya dalam menjalankan profesi advokat begitu sederhana namun begitu agung.

 

“Filosofi saya, saya harus bekerja dalam koridor kode etik dan peraturan perundang-undangan. Saya adalah penegak hukum. Makanya saya katakan saya tidak akan pernah memberi nasihat dan belum pernah memberi nasihat kepada klien untuk tidak memenuhi panggilan (aparat penegak hukum lain),” ujarnya.

 

Di penghujung tahun 2018 yang masih penuh catatan muram dunia hukum Indonesia, Pak Tri adalah sosok langka yang tepat untuk dikenang khususnya oleh para advokat. Sosok advokat teladan nan bersahaja yang jauh dari bau busuk suap, korupsi, dan menghalalkan segala cara. Pertanyaannya, akankah kita melihat kembali keteladanan yang serupa—jika sama persis sudah begitu sulit diharapkan—dari para advokat Indonesia?

Tags:

Berita Terkait