Komisi III DPR Pertimbangkan Pasal Kontroversial RUU Kejaksaan
Berita

Komisi III DPR Pertimbangkan Pasal Kontroversial RUU Kejaksaan

Jika masukan-masukan berbagai pihak nanti meyakinkan kami di DPR bahwa yang ada di RUU Kejaksaan perlu diubah, maka Komisi III DPR akan menerimanya.

Aida Mardatillah
Bacaan 3 Menit

Kedua, dengan single prosecution system terkait implementasi pelaksanaan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Nah, Jaksa Agung menjadi penuntut umum tertinggi dan jaksa adalah satu dan tak terpisahkan. Hal tersebut menunjukan implementasi dari pelaksana kekuasaan negara di bidang penuntutan.

Ketiga, berkaitan dengan asas dominus litis, posisi Kejaksaan terkadang mengalami dilema. Sebab, terhimpit oleh dua kekuatan besar penegak hukum yang secara tegas diatur konstitusi yakni kepolisian sebagai penyidik dan kekuasaan kehakiman sebagai pengadil. Tapi, Kejaksaan dalam konstitusi tidak tegas disebut sebagai kekuasaan peradilan secara eksplisit. Hanya saja masuk dalam penjelasan yang menyebutkan badan-badan kekuasaan lain.

“Namun tak masalah kalau ini diatur implementasinya dalam RUU yang baru ini karena asas dominus litis ini merupakan asas universal bahwa kejaksaan yang menentukan dapat tidaknya satu perkara diajukan ke pengadilan,” kata Barita.

Keempat, merumuskan standar perlindungan profesi jaksa, profesionalitas hingga kesejahteraan menjadi prinsip dasar dari kemandirian Kejaksaan. Karenanya perlu diakomodir dalam muatan materi RUU Kejaksaan. Kelima, kedudukan dalam fungsi supervisi dan koordinasi, check and balance dengan lembaga lain. Dengan begitu, penegakan hukum menjadi melindungi, tidak menindak. Nah fungsi tersebut pun dapat dilakukan Kejaksaan.

Keenam, pengawasan. Menurut Barita, semangat Komisi III memperkuat Kejaksaan secara kelembagaan perlu diimbangi dengan sistem pengawasan yang efektif. Tapi, kata Barita, pengawasan tidak berarti menghambat kinerja Kejaksaan, tapi hanya memastikan semua tugas dan kewenangan Kejaksaan dijalankan sesuai koridor yang berlaku. Sehingga dapat terhindar dari tindakan penyalahgunaan kewenangan, dapat transparan dan berintegritas.

Ketujuh, transformasi berkaitan dengan public trust. Menurutnya, kepercayaan publik terhadap wajah penegakan hukum oleh Kejaksaan mesti dibangun dengan informasi publik yang dapat meyakinkan masyarakat. Penegakan hukum mesti proporsional, sehingga hak dan kewajiban tetap diberikan dalam penegakan hukum.

“Dengan begitu, Kejaksaan bukan lembaga yang ditakuti, tetapi lembaga yang disegani. Itu menurut kami akan banyak membangun indeks kepercayaan kita kepada penegak hukum, khususnya negara hukum,” katanya. (ANT)

Tags:

Berita Terkait