Kritik untuk PHK karena Pelanggaran Bersifat Mendesak
Kolom

Kritik untuk PHK karena Pelanggaran Bersifat Mendesak

Mahkamah Agung perlu memberikan panduan penerapan PHK karena pelanggaran mendesak dalam praktik di Pengadilan Hubungan Industrial.

Bacaan 6 Menit
Willy Farianto. Foto: Istimewa
Willy Farianto. Foto: Istimewa

Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021) adalah pelaksanaan dari ketentuan Pasal 81 dan Pasal 185 huruf b UU No.11 Tahun 2020 jo. Perppu No.2 Tahun 2022 jo. UU No.6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Perlu diingat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja di tahun 2020 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sekaligus tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan”.

Baca juga:

Pemerintah lalu menindaklanjuti putusan itu dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja di tahun 2022. Perppu Cipta Kerja ini disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga ditetapkan dengan UU No.6 Tahun 2023 sebagai UU Cipta Kerja.. 

Perppu Cipta Kerja mulai berlaku pada tanggal 30 Desember 2022 yang membuat UU Cipta Kerja versi tahun 2020 dicabut dan tidak berlaku. Namun, semua peraturan pelaksanaannya diakui tetap berlaku sama. Jadi, PP 35/2021 pun tetap berlaku dan mengikat.

Pasal 52 ayat 2 PP 35/2021 mengatur alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena pelanggaran bersifat mendesak. PHK model ini memberikan kompensasi berupa uang penggantian hak dan uang pisah. Lebih lanjut, Pasal 52 ayat 3 PP 35/2021 menyebutkan pengusaha dapat melakukannya tanpa surat pemberitahuan PHK.

Dengan demikian, dugaan penulis prosesnya diawali dengan perundingan bipartit, mediasi, dan Pengadilan Hubungan Industrial/Mahkamah Agung. Dugaan ini berdasarkan penerapan hukum selama ini dan ketentuan Pasal 39 ayat 2 dan ayat 3 PP 35/2021. Isinya mewajibkan perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja apabila pekerja menolak pemberitahuan PHK, lalu dilanjutkan sesuai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Pembacaan dan dasar pemikiran penulis mengenai prosedur pelanggaran bersifat mendesak ternyata keliru. Ternyata maksud Pasal 52 ayat 2 PP 35/2021 adalah PHK sepihak oleh pengusaha tanpa melalui proses persidangan. Hal tersebut dapat dibaca dari penjelasan resmi Pasal 52 ayat 2 PP 35/2021. Isinya sebagai berikut, “Pelanggaran bersifat mendesak yang dapat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama sehingga Pengusaha dapat langsung memutuskan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh, misalnya dalam hal :a.melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik Perusahaan; b.memberikan keterangan palsu atau dipalsukan sehingga merugikan Perusahaan; c.mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; d.melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; e.menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau Pengusaha di lingkungan kerja; f.membujuk teman sekerja atau Pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; g.dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik Perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi Perusahaan; h.dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau Pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; i.membongkar atau membocorkan rahasia Perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau j.melakukan perbuatan lainnya di lingkungan Perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait