Kritisi ‘Roh’ UU Cipta Kerja, Dekan FH UGM Sarankan Perkuat Riset dan Teknologi
Berita

Kritisi ‘Roh’ UU Cipta Kerja, Dekan FH UGM Sarankan Perkuat Riset dan Teknologi

Arah kebijakan pembangunan ekonomi yang dibangun UU Cipta Kerja dinilai hanya bertumpu pada sumber daya alam, melonggarkan impor, dan masuknya paten dari luar negeri.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Mendorong impor

Kekhawatiran UU Cipta Kerja akan mendorong impor sebelumnya sempat disuarakan kalangan organisasi petani. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henri Saragih menilai UU Cipta Kerja tidak lagi mengutamakan kedaulatan pangan. Hal ini bisa dilihat dalam sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja, misalnya UU Cipta Kerja mengubah Pasal 36 UU No.18 Tahun 2012 tentang Pangan.

Sebelumnya, Pasal 36 UU Pangan ini mengatur impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri; impor pangan pokok hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi. Lalu, beleid itu berubah dengan menghapus sejumlah frasa dalam Pasal 36 UU Pangan itu.   

Mengacu draft Pasal 36 RUU Cipta Kerja memuat 812 halaman ini mengatur impor pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri; Impor pangan pokok dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan nasional; Impor pangan dan impor pangan pokok ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan memperhatikan kepentingan petani, nelayan, pembudi daya ikan, serta pelaku usaha pangan mikro dan kecil.

Henri menilai Pasal 36 UU Cipta Kerja itu tidak mengutamakan kedaulatan pangan karena ketentuan ini terkesan pemerintah tak lagi membatasi impor pangan. Kata lain, UU Cipta Kerja semakin memudahkan masuknya impor pangan dan seolah mengabaikan produksi pangan dalam negeri.

“Walaupun UU Cipta Kerja ada klausul impor pangan dan impor pangan pokok memperhatikan kepentingan petani, nelayan, pembudi daya ikan, serta pelaku usaha pangan mikro dan kecil, tapi sudah tidak ada lagi keharusan untuk mengutamakan produksi dalam negeri,” kata Henri dalam diskusi secara daring bertema “UU Cipta Kerja dan Dampaknya Bagi Situasi Pangan dan Petani di Indonesia”, Rabu (21/10/2020) lalu. (Baca Juga: UU Cipta Kerja Dinilai Bisa Perkuat Produksi Pangan Domestik)

Guru Besar IPB sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia, Dwi Andreas Santosa, menilai secara umum bidang pangan dalam UU Cipta Kerja mengintegrasikan sistem pangan Indonesia dengan dunia. Hal ini terjadi karena banyak ketentuan UU Cipta Kerja yang membuka ruang impor, seperti di sektor peternakan dan produk hewan.  

Misalnya, UU Cipta mengubah Pasal 36B ayat (1) UU No.41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang intinya mengatur pemasukan ternak dan produk hewan dari luar negeri dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dengan memperhatikan kepentingan peternak.

Dalam ketentuan sebelumnya, Dwi menyebut pemasukan ternak dan produk hewan dari luar negeri dilakukan apabila produksi dan pasokan ternak dan produk hewan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. Dwi menyebut pemerintah dan DPR menggunakan logika Global Food Security Indeks dimana Singapura menempati peringkat pertama.

Sebab, Singapura merupakan negara kecil yang kebutuhan pangannya kebanyakan dari impor. Sementara Amerika Serikat sebagai negara pengekspor pangan terbesar di dunia posisinya dalam Global Food Security Indeks berada di peringkat 3.

Dwi melihat impor pangan Indonesia terus meningkat. Bahkan tahun 2017, Indonesia menjadi negara pengimpor gandum terbesar dengan total impor sebanyak 12,5 juta ton. “Sistem yang dianut sekarang ini ketahanan pangan, bukan kedaulatan pangan. Jadi, UU Cipta Kerja membuat Indonesia semakin jauh dari kedaulatan pangan,” kata dia. 

Tags:

Berita Terkait