Kurang Alat Bukti Penyebab Investigasi Predatory Pricing Tiket Pesawat Murah Terhambat
Berita

Kurang Alat Bukti Penyebab Investigasi Predatory Pricing Tiket Pesawat Murah Terhambat

Dalam satu kasus predatory harus dibuktikan betul ada atau tidaknya niat pelaku untuk membunuh maskapai lain. Selama KPPU tidak bisa membuktikan itu, maka kasus tidak akan bisa ditindaklanjuti.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

“Minimal saja HHI-nya 2008 bahkan sampai 10.000. Sementara di KPPU kalau nilai HHI-nya udah 1800 saja sudah patut dicurigai,” tukasnya.

 

Baca:

 

Sekalipun kini pemerintah telah mengatur Tarif Batas Atas agar harga tidak meroket tajam melalui Kepmenhub No. 106 Tahun 2019 tentang TBA Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Niaga Berjadwal Dalam Negeri, itu tak menutup kemungkinan KPPU menyelidiki dugaan kartel bila disinyalir ada perundingan soal harga tiket oleh maskapai dalam rentang tarif TBA dan TBB itu. Beda soal kalau maskapai menaikkan tarif sesuai biaya operasional dan berada pada koridor peraturan menteri itu, maka KPPU memang tak bisa menjangkau.

 

“Tapi kalau mereka lakukan kerjasama pengaturan tarif dalam rentang TBA dan TBB itu, tetap aja masalah dalam persaingan. Karena itu potensial kartelnya,” tukasnya.

 

Berdasarkan data jumlah penumpang angkutan niaga berjadwal domestik, katanya, pasar penerbangan domestic Indonesia dikuasai oleh 2 Group Besar, yakni Lion Group dan Garuda Group. Lion Group disebutnya memiliki pangsa pasar terbesar domestic dengan penguasaan market share mencapai 50%, sedangkan Garuda Indonesia Group memiliki market share 46%.

 

Sebelumnya, Penasehat Kebijakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Lin Che Wei mengkategorikan era murahnya harga tiket pesawat LCC masa lalu sebagai harga yang predatory. Ia mempertanyakan absennya fungsi KPPU dalam menelisik dugaan predatory ketika itu. Terbukti, sebelum era predatory itu hanya 16 juta dari 200 jutaan rakyat Indonesia yang naik pesawat. Ketika semua maskapai berkompetisi menjatuhkan harga akhirnya angka penumpang pesawat Indonesia melonjak hingga 80 persen.

 

Padahal harga murah yang ketika itu berlaku, tak bisa dipertemukan antara variable cost dengan fixed cost-nya. Berkat harga yang begitu murah, akhirnya banyak perusahaan penerbangan merugi, Garuda Indonesia misalnya yang sudah tiga tahun merugi akibat persaingan harga yang begitu predatory.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait