Legitimasi Pemilu 2019 Terbebani Sejumlah Kasus
Berita

Legitimasi Pemilu 2019 Terbebani Sejumlah Kasus

Perbedaan paradigma penyelenggara dan pengawas pemilu membuat masyarakat bingung. Sejumlah pekerjaan rumah masih harus diselesaikan sebelum 19 April 2019.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Perludem berpandangan putusan MK berbicara tentang syarat pecalonan, bukan syarat calon terpilih. Pada titik pencalonanlah larangan terhadap pengurus partai politik itu untuk ikut serta sebagai kontestasi pemilu, bukan setelah terpilih dan syarat ditetapkan sebagai calon terpilih. Perludem menilai persiapan Pemilu 2019 berada di alarm kuning. Jika pelaksanaan tahapan yang berkali-kali keluar dari pakem hukum dibiarkan, integritas penyelenggaraan pemilu jadi taruhan. Menurut Perludem, Pemilu 2019 berada di tengah kompleksitas teknis, perdebatan konstitusionalitas tata kelola pemilu, dan tantangan pada legitimasi pemilu. Pada saat yang sama penyelenggara pemilu juga diuji profesionalisme dan integritasnya.

(Baca juga: Larangan Calon Anggota DPD dari Pengurus Parpol, MK ‘Diserang’ Balik).

Kasus lain yang menjadi beban Pemilu 2019 adalah hoaks. Penyebaran berita bohong sudah menjadi kasus hukum yang ditangani polisi. Ratna Sarumpaet bukan satu-satunya orang yang dinyatakan tersangka dalam konteks hoak. Terakhir, polisi harus bekerja keras mengungkap hoaks tujuh container surat suara yang sudah tercoblos.

Guru besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Topo Santoso mengatakan, untuk menyikapi hal ini harus ada hukuman tegas dan berat bagi para pelaku agar ada efek jera untuk siapapun para penyebar hoaks yang bisa mengganggu kredibilitas, integritas, dan legitmasi pemilu ini. Ini juga penting agar pihak-pihak yang mungkin masih berencana menyebar hoaks bisa mengambil pembelajaran dan mengurungkan niatnya, sebab hukum tidak memberi toleransi tindakan ini.

Kompleksitas Hari H

Perludem menyebutkan kompleksitas teknis pungut-hitung Pemilu 2019 sangatlah luar biasa. KPU bisa mendesain peraturan dengan sangat bagus, tapi mungkin saja pemahaman itu tidak sampai ke bawah. Misal, soal isu disabilitas mental baru-baru ini. Pengalaman 2018, ternyata pemahaman KPU soal hak pilih penyandang disabilitas mental tidak dipandang utuh oleh banyak jajaran di bawah. Oleh karena itu, salah satu tantangan besar KPU adalah memastikan 7 juta personilnya bekerja sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan oleh KPU.

Selain itu beberapa hal yang harus diantisipasi oleh penyelenggara pemilu terkait kompleksitas hari H Pemilu, misalnya kemungkinan adanya penggunaan KTP-El palsu untuk penggunaan hak pilih, proses pungut-hitung yang berlarut-larut melampaui tenggant waktu yang diatur UU, pemahaman dan kinerja teknis penyelenggara di tingkat KPPS yang tidak terstandar.

Demikian juga dengan layanan optimal bagi warga negara dalam menggunakan hak konstitusional untuk ikut pemilu adalah sebuah kewajiban. Namun regulasi Pemilu 2019 terancam mengganggu pemenuhan hak tersebut. Pemberlakuan KTP Elektronik sebagai syarat penggunaan hak pilih bagi mereka yang belum terdaftar dalam DPT akan menjadi hambatan tersendiri. Perludem berpandangan, jika memang warga negara Indonesia memang ada, jelas di mana orang tersebut tinggal, dan sudah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin, maka yang bersangkutan mesti didaftar sebagai pemilih. Ruang inilah yang mesti dipastikan oleh KPU bisa diberikan kepada pemilih, yang hari ini belum masuk ke dalam DPT, dan juga belum memiliki KTP-el.

KPU juga harus pastikan jaminan penggunaan hak pilih pada pemilih berpindah apalagi dengan adanya ketentuan surat pindah pemilih 30 hari sebelum hari pemungutan suara yang secara teknis akan menyulitkan bagi pemilih yang harus bergerak atau mobile dalam waktu kurang dari 30 hari sebelum hari pemungutan suara. Mereka terancam bisa kehilangan hak pilihnya pada Pemilu 2019. Termasuk pula fasilitasi penggunaan hak pilih bagi pemilih di RS, lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan, dimana KPU memutuskan tidak akan membuat TPS khusus.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait