Lima Bentuk Implementasi Putusan MK 2003-2018
Berita

Lima Bentuk Implementasi Putusan MK 2003-2018

Putusan MK dalam Implementasi Legislasi; Kebijakan Pemerintah; Seleksi Jabatan Publik; Proses Peradilan; dan Putusan MK Non-Implementatif.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

3. Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 tentang UU 23/2006 tentang administrasi kependudukan sebagaimana telah diubah dengan UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan. Ditindaklanjuti putusan tentang Hak dan Status Penghayat Kepercayaan di KTP dan KK ditindaklanjuti dengan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 471.14/ 10666/ Dukcapil tentang penerbitan Kartu Keluarga Bagi Penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa tanggal 25 Juni 2018.

 

“Meskipun pemerintah mengeluarkan kebijakan sebagai tindak lanjut dari Putusan MK, bukan berarti seluruh kebijakannya patuh dan sejalan dengan Putusan MK. Di Putusan MK No. 66/PUU-XI/2013 yang menyatakan Ibu kota Kabupaten Maybrat berkedudukan di Ayamaru, tetapi Menteri Dalam Negeri memutus ibukota Kab Maybrat kembali ke Kumurkek,” kata Firmansyah mencontohkan.

 

Apabila kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan putusan MK, kata Firmansyah, MK pernah mengingatkan pemerintah ketika Presiden SBY mengeluarkan Perpres No. 55 tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri. “Ketua MK melalui suratnya mengingatkan Presiden bahwa salah satu dasar hukum yang digunakan sebagai konsideran pembentukan Perpres No. 55 Tahun 2005, ialah peraturan yang tidak berlaku lagi karena sudah dibatalkan melalui putusan No. 002/PUU-I/2003 adalah peraturan yang tidak berlaku lagi. Perpres tersebut kemudian dicabut dan diganti menjadi Perpres No. 9 Tahun 2006,” kata dia.

 

Ketiga, Implementasi Putusan dalam Seleksi Jabatan Publik. Firmasyah mengatakan putusan MK banyak pula yang berkaitan dengan pengisian atau seleksi pejabat publik di lembaga-lembaga negara. Putusan MK yang mempengaruhi pengisian jabatan publik di lembaga politik misalnya, Putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003 yang membatalkan larangan eks pengurus/anggota PKI menjadi anggota legislatif; Putusan MK No. 5/PUU-V/2007 dan Putusan MK No. 35/PUU-VIII/2010 yang membuka jalan bagi calon perseorangan untuk menjadi kepala daerah tidak melalui jalur partai politik. Dan putusan MK MK No. 22-24/PUU-VI/2008 yang menentukan anggota legislatif ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak, tidak lagi berdasarkan nomor urut yang sudah ditetapkan.

 

“Putusan penting yang terus digunakan hingga Pemilu 2019 ini, sejatinya menegaskan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana telah diamanahkan konstitusi,” tuturnya.

 

Selain itu, putusan lain terkait dengan syarat-syarat pengisian jabatan politik antara lain, Putusan No. 4/PUU-VII/2009 perihal boleh tidaknya mantan narapidana menjadi calon legislatif atau menjadi kepala daerah (Putusan No. 42/PUU-XIII/2015; 71/PUU-XIV/2016); Putusan No. 20/PUU-XI/2013; dan putusan No. 53/PUU-XV/2017 tentang keterwakilan perempuan 30 persen yang harus diutamakan partai dalam daftar calon legislatif.

 

Serta, Putusan MK No. 60/PUU-XIII/2015 dan No 54/PUU-XIV/2016 terkait dengan syarat dukungan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah. Dan juga, Putusan No 88/PUU-XIV/2016 yang membuka peluang perempuan bisa menjadi gubernur/wakil gubernur DI Yogyakarta, serta putusan No. 30/PUU-XVI/2018 yang melarang pengurus partai politik menjadi anggota DPD.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait