Mediasi di Persidangan, Pilihan Solusi yang Belum Menjadi Solusi
Konferensi ADHAPER 2018:

Mediasi di Persidangan, Pilihan Solusi yang Belum Menjadi Solusi

Mediasi sudah dikenal dalam HIR dan RBg. Namun hingga diatur dengan UU Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Perma tak kunjung alami perkembangan berarti.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Lain lagi yang diungkapkan Yaswirman. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas ini berpendapat upaya perdamaian sudah lama tidak memiliki daya tarik dalam peradilan karena nilai-nilai budaya musyawarah dan mufakat masyarakat Indonesia sudah luntur sejak masuknya model peradilan sistem kolonial. “Ketika hukum acara datang dari Barat cara-cara ini dikesampingkan. Apapun dibawa ke pengadilan. Padahal dulu musyawarah,” katanya kepada hukumonline.

 

(Baca juga: Catatan Kritis 5 Profesor Hukum Perdata tentang e-Court)

 

Dengan asumsi demikian, Yaswirman melihat perdamaian sudah tidak dianggap sebagai penyelesaian. Masyarakat memang datang ke pengadilan untuk mendapatkan putusan menang-kalah dari hakim. Ia membandingkan dengan keberhasilan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di Jepang karena nilai budaya dan komunalisme yang terus terpelihara.

 

Pendapat Yaswirman ini sama dengan apa yang dijelaskan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Yohanes Sogar Simamora. Yohannes meyakini bahwa keberhasilan mediasi sangat terkait dengan budaya. Alasannya,  budaya hukum yang dipahami masyarakat dalam bersengketa selama ini tidak mau kalah sedikitpun. Namun ia tidak menampik kemungkinan ada peran advokat yang kurang memberikan nasehat hukum yang tepat pada kliennya. “Tidak siap kalah, setiap ada peluang upaya hukum dicoba terus. Disamping pengacaranya (pun) tidak mendukung (damai), berkepentingan perkara tetap lanjut,” ujarnya.

 

Pendapat Yaswirman dan Sogar ini dikuatkan penjelasan Basuki tentang pergeseran sistem nilai nenek moyang masyarakat Indonesia yang dahulu dikenal mengedepankan musyawarah mufakat menjadi suka berperkara. “Kearifan lokal yang suka musyawarah sudah bergeser, wakai (mekanisme mediasi-red.) di Jepang berhasil karena sistem nilai mereka terpelihara. Ini soal budaya,” jelasnya.

 

Meskipun begitu, Basuki menilai ada beberapa kemungkinan kendala teknis yang membuat mediasi di persidangan tidak berhasil. Pertama, bisa jadi mediator yang tersedia dari para hakim mediator tidak cukup piawai untuk mendamaikan para pihak.

 

Para pihak cenderung akan memilih hakim mediator yang tersedia gratis ketimbang jasa mediator profesional berbayar untuk melewati tahap mediasi di persidangan. “Dia harus punya softskill. Kemampuan teknis saja tidak cukup, harus punya kepaiawaian aspek psikologi, sosiologi budaya tentang pihak yang dimediasi,” ujar Basuki.

 

Kedua, sangat mungkin bahwa sengketa sudah diupayakan berdamai di luar pengadilan namun tidak berhasil. Sehingga saat datang ke pengadilan sudah berencana menempuh jalur litigasi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait