Melihat 7 Substansi RUU Otsus Papua yang Disahkan Jadi UU
Utama

Melihat 7 Substansi RUU Otsus Papua yang Disahkan Jadi UU

Mulai politik afirmasi, ekonomi, hingga perbaikan tata kelola pemerintahan. Pembahasan RUU Otsus Papua hingga menjadi UU merupakan upaya bersama dalam mewujudkan komitmen pemerintah, DPR, dan DPD guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Papua.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Suasana sidang paripurna DPR. Foto: RES
Suasana sidang paripurna DPR. Foto: RES

Revisi Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (RUU Otsus Papua) disetujui dan disahkan menjadi UU oleh DPR. Secara bulat seluruh fraksi partai memberikan persetujuan, ditandai dengan ketukan palu rapat paripurna oleh Sufmi Dasco Ahmad di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (15/7/2021).

“Apakah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No.21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua dapat disetujui,” ujarnya. Seluruh anggota yang hadir secara fisik maupun virtual menyetujuinya.

Ketua Pantia Khusus (Pansus) RUU Otsus Papua, Komaruddin Wakatubun mengatakan RUU yang menjadi usul inisiatif pemerintah ini memuat tiga perubahan pasal yakni Pasal 1, Pasal 34, dan Pasal 76 yang memuat mengenai dana otsus dan pemekaran wilayah daerah. Namun dalam perkembangan pembahasan, fraksi-fraksi partai di parlemen menilai persoalan Papua tak dapat diselesaikan hanya dengan merevisi 3 pasal tersebut. Singkat cerita, sebanyak 15 pasal disodorkan DPR di luar substansi yang diajukan pemerintah.

“Pemerintah dapat mengakomodir dalam perubahan kedua UU Nomor 21 Tahun 2001 ini ditambah dengan 2 pasal substansi materi di luar UU. Sehingga, terdapat 20 pasal yang mengalami perubahan,” kata Komaruddin dalam rapat paripurna DPR, Kamis (15/7/2021). (Baca Juga: Mengkaji Efektivitas Implementasi Otonomi Khusus Papua)

Secara garis besar ada beberapa perubahan pasal yang dirangkum menjadi 7 substansi pokok. Pertama, RUU tersebut mengakomodir perlunya pengaturan kekhususan bagi orang asli Papua dalam bidang politik, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, perekonomian, dan memberikan dukungan bagi pembinaan masyarakat adat.

Dia menjelaskan dalam bidang politik diberikan perluasan peran politik bagi orang asli Papua dalam keanggotaan di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK). Menurutnya, DPRK menjadi nomenklatur baru menggantikan DPRD yang diinisiasi dalam RUU. Ditegaskan pula kursi dari unsur pengangkatan anggota DPRK tidak boleh diisi dari partai politik dan memberikan afirmasi 30% dari unsur perempuan. “Penegasan itu pun berlaku bagi anggota DPR Papua,” kata dia.

Dalam bidang pendidikan dan kesehatan, UU Otsus Papua terbaru mengatur kewajiban pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota untuk mengalokasikan anggaran pendidikan dan kesehatan untuk orang asli Papua. Dengan demikian, orang asli Papua dapat menikmati pendidikan hingga jenjang pendidikan tinggi. Demikian pula, kesehatan orang asli Papua bakal terus meningkat.

Bidang ketenagakerjaan dan perekonomian, dalam Pasal 38 ayat (3) menyebutkan, Dalam melakukan usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib memperhatikan sumber daya manusia setempat dengan mengutamakan Orang Asli Papua”. Dengan begitu, anak-anak asli Papua yang memenuhi syarat pendidikan dapat direkrut sebagai tenaga kerja.

Selain itu, bidang pemberdayaan, dalam Pasal 36 ayat (2) huruf (d) menegaskan sebesar 10% dari dana bagi hasil dialokasikan untuk belanja bantuan pemberdayaan masyarakat adat. Dia menjelaskan semakin berdaya masyarakat adat, maka bakal menyentuh juga pemberdayaan bagi orang asli Papua.

Kedua, terkait lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), UU Otsus Papua terbaru memberi kepastian hukum. MRP dan DPRP berkedudukan di masing-masing ibu kota provinsi serta memberi penjelasan mengenai penamaan masing-masing lembaga agar tercipta kesamaan penyebutan nama untuk kegunaan administrasi pemerintahan. “UU ini juga memberi penegasan bahwa anggota MRP tidak boleh berasal dari partai politik,” ujarnya.

Ketiga, terkait partai politik lokal. Menurutnya, pelaksanaan Pasal 28 UU 21/2001 selama ini diartikan sebagai hadirnya partai politik lokal di Papua, yang malah menimbulkan kesalahpahaman antara pemerintah daerah dan pusat. Nah, agar tak terjadi perbedaan pandangan, UU terbaru Otsus Papua mengadopsi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 41/PUU-XVII/2019 dengan menghapus ketentuan ayat (1) dan (2) dalam Pasal 28.

Anggota Komisi II DPR ini menilai sebagai wujud kekhusuhan Papua, keanggotaan DPRP dan DPRK, selain dipilih, juga dilakukan pengangkatan dari unsur orang asli Papua. Menurutnya, dengan disediakannya ruang mekanisme pengangkatan, diharapkan dapat memenuhi keinginan dan harapan orang asli Papua. Begitu pula memberikan kepastian hukum terkait pengisian jabatan wakil gubernur yang berhalangan tetap.

Keempat, terkait dana Otsus. Wakatubun melanjutkan Pansus menyadari persoalan Otsus Papua tak semata soal besaran dana otsus. Meskipun Pansus DPR dan pemerintah bersepakat kenaikan dana Otsus 2% Dana Alokasi Umum (DAU) nasional menjadi 2,25%, tapi UU terbaru telah memperkenalkan sebuah tata kelola baru bagi penggunaan Dana Otsus. Antara lain pencairan dana Otsus dilakukan melalui dua skema yakni penerimaan umum dan penerimaan yang berbasiskan kinerja pelaksanaan.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menerangkan penerimaan berbasis kinerja pelaksanaan mengatur sebesar minimal 30% dialokasikan untuk pendidikan dan 20% untuk kesehatan. Aturan tersebut menjadi skema baru yang diharapkan mampu meningkatkan sektor pendidikan dan kesehatan di Papua. Diatur pula indikator dalam pembagian penerimaan dana otsus termasuk memperhatikan jumlah orang asli Papua, tingkat kesulitas geografis, dan indeks kemahalan konstruksi.

Kemudian, mekanisme pembagian dana otsus dilakukan dengan melibatkan peran pemerintah pusat dan pemda tingkat provinsi. Sementara DPD pun dilibatkan dalam pengawasan pengelolaan dana otsus. “Melalui perubahan tata kelola dana otsus, diharapkan berbagai persoalan pembangunan selama ini dapat diatasi,” lanjutnya.

Kelima, hadirnya sebuah Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BK P3). Latar belakang munculnya badan khusus ini lantaran terdapat banyak program/kegiatan kementerian/lembaga di Papua yang tidak sinkron dan harmonis. Melalui kehadiran badan khusus yang diketuai Wakil Presiden dan beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri Bappenas, dan Menteri Keuangan, serta masing-masing perwakilan dari setiap provinsi yang ada di Papua ini dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan di Papua.

“Pansus memberikan penekanan agar lembaga kesekretariatan berada di Papua. Hal ini juga merupakan simbol menghadirkan istana di Papua,” ujarnya.

Keenam, pemekaran provinsi di Papua. Menurutnya, Pansus DPR dan pemerintah menyepakati pemekaran provinsi di Papua selain dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP, juga oleh Pemerintah dan DPR tanpa melalui tahapan daerah persiapan. Tujuannya agar memenuhi tuntutan aspirasi, memberikan jaminan dan ruang bagi orang asli Papua dalam aktivitas politik, pemerintahan, perekonomian, dan sosial budaya.

Ketujuh, peraturan pelaksanaan dari UU. Menurutnya, Pansus DPR dan pemerintah berkomitmen menghadirkan Peraturan Pemerintah (PP) paling lambat 90 hari kerja ke depan. Sedangkan bagi peraturan daerah provinsi (Perdasi) diberikan waktu 1 tahun. Dia yakin UU Otsus Papua terbaru ini bentuk komitmen DPR dan pemerintah melakukan terobosan hukum mengatur penyusunan aturan turunan dikonsultasikan dengan DPR, DPD, dan pemda provinsi-provinsi di Papua.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian mengatakan pembahasan RUU Otsus Papua hingga menjadi UU merupakan upaya bersama dalam mewujudkan komitmen pemerintah, DPR, dan DPD guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Papua sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Dalam pembahasannya, kita berpijak pada prinsip-prinsip melindungi dan menjunjung harkat dan martabat orang asli Papua dan melakukan percepatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua,” kata Tito.

Pemerintah prinsipnya mengamini pandangan laporan Pansus DPR. Selanjutnya, kata Tito, setelah UU tersebut resmi diundangkan dan dimuat dalam lembaran negara, pemerintah bakal mensosialisasikan kepada seluruh para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah, serta menyusun aturan pelaksananya dalam bentuk PP sebagaiamana amanat UU tersebut.

Tags:

Berita Terkait