Memahami Zakat Profesi
Edsus Lebaran 2019

Memahami Zakat Profesi

Menurut Fatwa MUI, zakat penghasilan (profesi) dapat dikeluarkan saat menerima jika sudah cukup nishab. Atau jika tidak mencapai nishab, semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun, lalu zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Meski begitu, menurut ijtihad (pemikiran) kalangan ulama fikih kontemporer, bukan berarti harta dari hasil menjalani profesi tertentu terbebas dari pembayaran zakat. Sebab, hakikatnya pungutan zakat harta diambil dari orang-orang kaya untuk dibagikan kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat. Ini sesuai perintah QS Al-Baqarah (2): 267 yang berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagai dari hasil usahamu yang baik-baik.”  

 

Akan tetapi, jika hasil pendapatannya tak mencukupi kebutuhan hidup keluarga, ia akan menjadi mustahiq. Atau jika hasilnya hanya sekedar menutupi kebutuhan hidup, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan biaya lain yang diperlukan, maka tidak wajib zakat karena nilai hasil profesinya tidak mencapai nishab.         

 

Prof Didin Hafidhuddin dalam bukunya berjudul, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sedekah dan Zakat dalam Perekonomian Modern, menyebutkan penggagas atau yang mempopulerkan istilah zakat profesi adalah Syaikh Yusuf al-Qaradhawi lewat karyanya berjudul Fiqh al-Zakat. Yusuf al-Qaradhawi menyebut penghasilan yang diperoleh pekerja wiraswasta atau pegawai negeri dikenal dalam ilmu fikih dengan istilah al-mal almustafad.           

 

Ulama kenamaan asal Mesir ini memberi definisi zakat yang dikenakan (diwajibkan) pada setiap pekerjaan atau keahlian profesi tertentu baik dilakukan sendiri maupun bersama orang/lembaga yang mendatangkan penghasilan (kasab) dan memenuhi nishab. Misalnya, penghasilan profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, penjahit, tukang batu, dan sebagainya. Termasuk didalamnya penghasilan/gaji pegawai negeri dan pegawai swasta yang menerima upah bulanan.  

 

Pandangan itu dikutip pula oleh Wahbah al-Zuhaili dalam buku Zakat: Kajian Berbagai Mazhab (PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 1995). Besarnya zakat profesi yang harus dikeluarkan sebesar seperempat puluh (2,5 persen) berdasarkan nash-nash (teks Al-Qur’an dan Hadits) yang mewajibkan zakat pada uang simpanan baik kepemilikannya telah setahun maupun belum mencapai setahun.

 

Namun, jika seorang muslim mengeluarkan zakat atas pendapatan profesinya ketika dia menerimanya (per bulan), maka dia tidak wajib zakat lagi pada akhir tahun. Dengan begitu, ada kesamaan (qiyas) antara pendapatan dari profesi-profesi itu dengan penghasilan para petani (zakat hasil pertanian) yang diharuskan membayar zakat tanaman dan buah-buahan ketika mereka memetik atau memanen.

 

Selama ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih (fuqaha) terkait nishab, kadar, dan waktu zakat profesi ini. Namun, menurut buku Panduan Zakat Praktis itu, disimpulkan ketentuan zakat profesi berupa harta (uang) di-qiyas-kan (disamakan secara analogi) dengan dua jenis zakat mal yakni zakat pertanian dan harta simpanan emas/perak/uang.

Tags:

Berita Terkait