Mendorong Konsep Single Bar Sebagai Fungsi Regulator dalam RUU Advokat
Utama

Mendorong Konsep Single Bar Sebagai Fungsi Regulator dalam RUU Advokat

Sementara kewenangan eksekutor diberikan kepada masing-masing organisasi advokat di bawah organisasi regulator. Seperti melaksanakan pendidikan, ujian advokat, menentukan standar kelulusan, penyumpahan, hingga pemberhentian advokat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Wakil Ketua MPR Arsul Sani saat menjadi pembicara dalam webinar bertajuk 'Single Bar Sistem: Solusi Organisasi Advokat Indonesia Suatu Telaah Yuridis Akademis', Kamis (22/7/2021) kemarin. Foto: RFQ
Wakil Ketua MPR Arsul Sani saat menjadi pembicara dalam webinar bertajuk 'Single Bar Sistem: Solusi Organisasi Advokat Indonesia Suatu Telaah Yuridis Akademis', Kamis (22/7/2021) kemarin. Foto: RFQ

Persoalan sistem organisasi advokat single bar atau multi bar terus menjadi perdebatan. Meski UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menganut sistem single bar, tapi faktanya dalam beberapa tahun terakhir sudah menjamurnya banyak organisasi yang menjalankan fungsi organisasi advokat terutama mulai penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), Ujian Advokat, hingga Penyumpahan Advokat.      

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Arsul Sani mengatakan Revisi UU Advokat pada DPR periode 2019-2024 masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka panjang. Hanya saja belum masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahunan. Dia mengatakan dalam Revisi UU Advokat saat itu arahnya tetap sistem single bar. Hanya saja konsep single bar dimaksud tak sama dengan yang ada dalam UU 18/2003.

Single bar sebagai open legal policy hendak dipertahankan, tapi bentuknya tidak seperti single bar saat ini,” ujar Arsul Sani dalam saat menjadi pembicara dalam webinar bertajuk “Single Bar Sistem: Solusi Organisasi Advokat Indonesia Suatu Telaah Yuridis Akademis”, Kamis (22/7/2021) kemarin. (Baca Juga: MK Ingatkan 5 Poin Putusan Terkait Organisasi Advokat)

Anggota Komisi III DPR ini melanjutkan komisi tempatnya bernaung banyak diisi kalangan advokat dari organisasi advokat yang berbeda. Meski organisasi advokat berbeda, kata Arsul, kalangan advokat yang duduk sebagai anggota Komisi III memiliki harapan yang sama untuk memperbaiki dunia advokat.

Arsul menerangkan single bar dalam UU 18/2003 menjadikan organisasi advokat dengan nama Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) tak hanya sebagai regulator, tapi juga sebagai eksekutor di semua lini. Akibatnya, semua kewenangan organisasi advokat berada di satu tangan yang menjadi bibit perselisihan yang berujung perpecahan, seperti halnya Peradi yang terpecah menjadi tiga. Baginya, mempertahankan single bar ini tidak berarti memberi semua otoritas pada satu organisasi.

Untuk itu ke depannya, kata Arsul, melalui single bar dalam RUU Advokat mengatur otoritas tunggal hanya di hulu (regulator). Sementara di hilir tetap menjadi kewenangan semua organisasi advokat lain (eksekutor). Dia mencontohkan dalam pengelolaan jalan tol. Dahulu sebagai regulator dan eksekutor berada di bawah satu tangan yakni PT Jasa Marga dan menimbulkan monopoli. Namun negara berpikir perlu membuat dan membentuk Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT), sehingga operator jalan tol saat ini beragam.

Di sektor perminyakan. Dahulu, regulator dan eksekutor sektor perminyakan dipegang oleh Pertamina. Namun kebijakan ini diubah. Saat ini sektor hulu dipegang Satuan Kerja Khusus (SKK) Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagai pembuat kebijakan (regulator). Semestinya, kata Arsul, organisasi advokat dapat mencontoh antara pembuat kebijakan regulasi (regulator) dan eksekutor regulasi dipisahkan. “Katakanlah Peradi atau organisasi lain dalam konteks single bar, hemat saya perannya sebagai regulator saja,” tegasnya.

Dengan demikian, otoritas tunggal Peradi kewenangannya terbatas sebagai regulator. Peradi tak dapat menyelenggarakan pendidikan advokat, memungut iuran tahunan, dan kewenangan lain. Kewenangan lain menjadi ranah organisasi advokat di bawah Peradi sebagai eksekutor. Dengan perubahan konsep sistem single bar seperti ini dapat mencegah terjadi perpecahan, dan justru menguatkan kualitas profesi advokat.

“Hemat saya semestinya seperti itu. Konsep single bar tidak seperti sekarang, dia buat peraturan sendiri, menentukan pendidikan PKPA sendiri, menentukan standar kelulusan sendiri, punya dewan kehormatan, menurut saya ini tidak bisa dipertahankan, ada conflict of interest karena sebagai regulator dan eksekutor.”

“Kalau konsep ini disepakati, kami di Komisi III bisa kembali mendorong masuk ke Revisi UU Advokat. Tapi kalau masih dalam posisi tak mau mengalah dan mengeser pemikiran akan susah. Sudah dikumpulkan menteri saja tidak ada follow up dan mogok di tengah jalan,” sindirnya.

Peradi mesti bersatu lagi

Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan melanjutkan Revisi UU Advokat memang belum prioritas untuk dibahas dalam Prolegnas Prioritas. Tapi, baginya mudah saja bagi Komisi III DPR untuk merevisi atau mengubah UU Advokat. “Pertanyaanya kita mengubah UU Advokat ini untuk siapa? Apakah untuk segelintir orang saja?” kata Arteria Dahlan dalam kesempatan yang sama.

Arteria menilai UU Advokat secara kasat mata tak dapat dieksekusi, malahan terlecehkan yang masih berkutat memperdebatkan soal single bar atau multi bar. “Kalau single atau multi bar itu sebenarnya gampang bahasnya secara kajian filosofis, sosiologis, dan yuridis,” kata dia.

Dia mengaku rindu menantikan Peradi bisa memperjuangkan advokat secara bebas membela klien; membela advokat untuk tidak dapat dituntut/digugat saat menjalankan tugasnya. Termasuk hak advokat memperoleh informasi dan dokumen dari instansi lain, merahasiakan hak klien, memastikan kerahasiaan dokumen, serta perlindungan penuh terhadap advokat. “Ini gak kelihatan yang dilakukan Peradi, yang ada ribut masalah pendidikan rekrutmen, ujian advokat, dan lainnya,” bebernya.

Arteria yang juga berprofesi advokat mengingatkan peran organisasi advokat dalam rangka meningkatkan kualitas dan kapasitas advokat. Dia mengkritik implementasi Pasal 5 ayat (1) UU Advokat yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lain. Advokat semestinya mengikuti irama tiga penegak hukum lain. Ketimbang berdebat tak berujung soal single atau multi bar, lebih penting memperjuangkan kesetaraan advokat dengan penegak hukum lain sebagaimana amanat Pasal 5 ayat (1) UU Advokat.

Hukumonline.com

Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan.

Menurutnya, DPR dan pemerintah masih fokus pada wadah tunggal organisasi advokat, makanya Peradi mesti bersatu lagi. Itu sebabnya pada 25 Februari 2020, pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD dan Menkumham Yasona H Laoly memfasilitasi pertemuan ketiga kubu Peradi, tapi sayangnya kandas di tengah jalan. Arteria mendorong agar dilakukan pertemuan lanjutan untuk menyepakati pelaksanaan Munas untuk menghasilkan pemimpin baru melalui proses pemilihan yang disepakati dan bersifat sah dan mengikat. Dia yakin Menkumham bakal mengesahkan kepengurusan baru pasca bersatunya Peradi.

“Saya minta Peradi Otto Hasibuan, Peradi Juniver Girsang, dan Peradi Luhut Pangaribuan, coba kumpul lagi tak usah dengan pemerintah dan DPR dulu,” harapnya.

Sementara Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan berpandangan Peradi merupakan organ negara yang diberikan kewenangan mengangkat advokat. Menurutnya, setiap advokat wajib menjadi anggota organisasi advokat sebagaimana amanat Pasal 30 ayat (2) UU Advokat. Soal terpecahnya organisasi advokat, Otto menyadari perlunya berpikir ulang bagi semua pihak. Namun lagi-lagi dirinya memperjuangkan single bar demi kepentingan pencari keadilan.

Hukumonline.com

Ketua Umum DPN Peradi Otto Hasibuan.

“Mau organisasi advokat sepuluh atau dua puluh boleh, karena itu kebebasan berserikat. Tapi yang memiliki kewenangan untuk mengatur segala sesuatu hal mengenai UU ini hanya satu. Jadi ketunggalanya itu bukan organisasinya, tapi kewenangannya yang tunggal,” katanya.

Tags:

Berita Terkait