Menguji Integritas Hakim Konstitusi di Pengujian Formil UU MK
Utama

Menguji Integritas Hakim Konstitusi di Pengujian Formil UU MK

Nantinya, publik dapat melihat siapa hakim konstitusi yang menerima (mengabulkan), dissenting, ataupun menolak pengujian UU MK ini.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Sejumlah narasumber dalam diskusi daring bertajuk 'Menyibak Cacat Formil Revisi UU MK dan Peluang Uji Formil', Kamis (25/3/2021). Foto: RFQ
Sejumlah narasumber dalam diskusi daring bertajuk 'Menyibak Cacat Formil Revisi UU MK dan Peluang Uji Formil', Kamis (25/3/2021). Foto: RFQ

Sejarah mencatat tak satupun pengujian fomil terhadap Undang-Undang (UU) di Mahkamah Konstitusi (MK) dikabulkan sejak 2003-2019. Sebagai penjaga konstitusi, MK seharusnya menjadi lembaga yang benar-benar menjalankan fungsi check and balance terhadap proses/prosedur pembuatan Undang-Undang (UU) tanpa menabrak aturan prosedur pembentukan UU dan konstitusi.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menilai praktik uji formil terhadap UU di MK kerap membuat gelisah atau pesimis kalangan masyarakat sipil. Padahal, uji formil menjadi bagian penting dalam bingkai negara hukum yang demokratis (rule of law). Bivitri mencatat sebanyak 44 perkara pengujian formil tak satupun pengujian formil UU yang dikabulkan MK.

Bivitri melihat MK cenderung lebih fokus menangani pengujian materil UU. Prinsip due process of law making kerap diabaikan dalam konteks hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Karena itu, ketika terdapat sebuah UU yang tidak layak dan patut, maka tak boleh dilanjutkan pembahasannya karena bisa berakibat terhadap produk UU yang tidak berkualitas.

Perempuan yang dikenal ahli di bidang hukum tata negara itu melanjutkan masyarakat sipil kerap mengawasi jalannya proses pembuatan UU termasuk lembaga yudikatif. Sebab, lembaga legislatif dan eksekutif kerap melakukakn abuse of process. “Nah, disini MK semestinya menjalankan fungsi check and balance terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif,” kata Bivitri dalam diskusi daring bertajuk “Menyibak Cacat Formil Revisi UU MK dan Peluang Uji Formil”, yang diselenggarakan PSHK Indonesia dan Kode Inisiatif, Kamis (25/3/2021).   

Dia menilai terdapat dua tantangan dalam melakukan uji formil sebuah UU, khususnya UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pertama, adanya dugaan tunggangan politik tentang dampak putusan. Menurutnya, pertimbangan politik ada kecenderungan pula di banyak negara. Tak dapat dipungkiri bila MK memiliki aspek politik yang cukup signifikan.

“Sebab desain lembaga MK di banyak negara juga ada aktor politik. Dengan itu ketika MK melakukan pertimbangan memutus, ada pertimbangan dampak dari putusan MK,” lanjutnya.

Seperti adanya putusan MK yang berulang hingga 4 kali terkait dengan UU APBN pada 2003, 2004, dan seterusnya. Sebab, terdapat pemohon yang menilai anggaran pendidikan dalam APBN belumlah mencapai 20 persen. Padahal, konstitusi mengamanatkan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN. Menurutnya, MK mengakui ada kesalahan dalam praktik dalam UU, namun UU tentang APBN kala itu tak dibatalkan.

“Banyak sekali UU yang diuji formil, MK menilai ternyata dengan asas kemanfaatan tidak layak dibatalkan karena dampaknya buruk,” ujarnya. (Baca Juga: Dosen Uji Formil UU MK dan Persoalkan Syarat Usia Hakim Konstitusi)

Kedua, benturan kepentingan. Menurutnya, terdapat kepentingan nyata hakim dalam perkara uji formil UU 7/2020.  Sebab terkait dengan masa jabatan hakim konstitusi. Di lain sisi terdapat asas nemo judex idoneus in propria causa, seorang tidak dapat menjadi hakim bila mengadili kepentingan dirinya sendiri. Sementara MK pun pernah menyimpangi asas tersebut pada putusan MK No.066/PU-II/2004, putusan MK No.005/PUU-IV/2006, dan putusan MK No.49/PUU-IX/2011.

Perempuan yang akrab disapa Bibip itu menilai dengan alasan serupa pada putusan-putusan terdahulu, menjadi layak diterapkan pada uji fomil UU MK terkait asas nemo judex idoneus in propria causa. Menurutnya, UU 7/2020 memiliki benturan kepentingan dan nyata dampaknya, terlihat jelas. Seperti adanya keistimewaan yang diberikan bagi sembilan hakim MK. Hal itulah membuat MK tak berdaya memberikan fungsi check and balance terhadap lembaga eksekutif dan legislatif.

Kita semua harus mendorong uji formil ini supaya DPR dan presiden tak melakuakn abuse of process,” lanjutnya.

Sangat mengkhawatirkan

Peneliti Kode Inisiatif, Violla Reininda melanjutkan praktik abuse of process dalam pembentukan UU yang dilakukan DPR dan pemerintah sangat mengkhawatirkan. Bahkan menjadi persoalan besar dalam kehidupan bernegara. Karenanya, MK semestinya menghentikan praktik abuse of process ini agar tidak terjadi dampak buruk yang lebih besar. Setidaknya terdapat tiga hal yang perlu mendapat perhatian.

Pertama, proses pembentukan UU banyak melanggar prosedur. Menurutnya, pelanggaran prosedur bukanlah ketidaksengajaan, tapi sudah direncakana sedemikian rupa untuk meloloskan aturan-aturan yang berpotensi menabrak konstitusi, khususnya saat merevisi UU 24/2003. Dalam kaitan pembentukannya, revisi UU 24/2003 masuk daftar kumulatif terbuka sebagai bagian tindak lanjut putusan MK. Namun revisi tentang masa jabatan dan usia hakim MK tersebut justru di luar dari tindak lanjut putusan MK.

“Seolah-olah perpanjangan masa jabatan untuk menjaga independensi hakim konstitusi. Tapi kenapa dengan cara-cara yang melanggar prosedur tanpa urgensi yang justru menguntungkan hakim konstitusi saat ini yang sedang menjabat,” kata Violla dalam kesempatan yang sama.

Kedua, dugaan upaya penjinakan MK. Dia menilai pembentuk UU menganggap MK sebagai “ancaman”. Di tangan MK, sudah banyak produk legislasi UU yang sudah dibatalkan pasal-pasalnya. Bahkan ada pula UU yang dibatalkan secara keseluruhan. Lantaran adanya “ancaman” itulah, pembentuk UU memberi “hadiah” untuk memperpanjang masa jabatan hakim MK.

“Dalam arti menjinakan atau melakukan barter tertentu yang ada di dalam MK. Kendati ini menjadi tantangan kenegarawanan hakim MK dan menjerumuskan MK pada pusaran konflik kepentingan. Harapan kita MK tidak mudah dirayu dengan perpanjangan masa jabatan itu,” harapnya.

Ketiga, tantangan ke depan. Koalisi masyarakat sipil sedang menguji UU 7/2020. Tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi semua pihak. Apalagi belum ada satupun UU yang diuji formil dikabulkan MK. Selain itu, cara pandang MK yang enggan memperhatikan proses pembentukan UU lantaran lebih mengedepankan aspek substantif UU.

Bagi perempuan yang menjadi pemohon uji formil UU 7/2020 itu, ketegasan Mahkamah dalam memberi putusan sangat penting. MK menjadi pegangan dan preseden terkait dengan pembentukan UU yang lebih baik ke depannya. Sebaliknya, ketidaktegasan Mahkamah memberi putusan yang paradok, justru memberi ruang pembentuk UU melakukan penyalahgunaan due process of law making.

“Ini menjadi tantangan juga bagi MK. Jangan sampai ini menimbulkan anomali. Sebab, pengujian materil banyak juga UU dibatalkan seluruhnya. Tapi Mahkamah tidak menanyakan asas kemanfaatan,” ujarnya.

Pelemahan MK

Kuasa hukum pemohon uji formil UU 7/2020, Agil Oktaryal berpendapat, berkaca dari sejumlah peristiwa pelemahan terhadap Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), MK pun mengalami hal serupa. Pelemahan terhadap MK dilakukan melalui jalur legislasi. Sejauh ini, pelemahan terhadap jalur legislasi dan jalur politik kerap terjadi.

Seperti pidato Presiden Joko Widodo pada penyampaian Laporan Tahunan MK Tahun 2019 yang meminta dukungan terkait kemungkinan pengajuan uji materi UU Cipta Kerja oleh masyarakat. Ucapan itu disampaikan Jokowi pada Januari 2020 lalu di gedung MK. Bagi Agil, pernyataan Presiden mengganggu independensi MK.

Dia mengakui memang unsur hakim MK, salah satunya berasal dari usulan pemerintah/presiden selain DPR dan MA. Presiden semestinya sadar bahwa pemerintah dalam pengujian UU sebagai pihak yang berpekara. Menurutnya, cara-cara melemahkan lembaga konstitusi bagian dari meruntuhkan demokrasi. “Revisi UU MK adalah cara mengganggu independen hakim yang sedang menjabat serta ada motif-motif pelemahan terhadap MK,” kata dia.

Secara prosedur, salah satu argumentasi yang menjadi dalil diajukan uji formil terkait ketiadaan asas keterbukaan terhadap masyarakat. Pembahasan revisi UU 7/2020 saat itu dilakukan tertutup dan lebih cepat pembahasannya, hanya dalam kurun waktu 7 hari kerja. “Nah, dengan cara-cara seperti itu, dianggap melanggar prinsip-prinsip konstitusi.”

Soal peluang uji formil UU 7/2020, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia itu menilai menjadi tantangan tersendiri bagi hakim konstitusi. “Integritas hakim konstitusi diuji terkait dengan dirinya sendiri. Apakah mereka mau menerima atau tidak. Kita bisa lihat siapa yang menerima (mengabulkan, red), siapa yang dissenting, kita bisa mengukur integritas 9 hakim konstitusi (melalui putusan pengujian UU MK ini, red),” katanya.

Tags:

Berita Terkait