Mengukur Peluang ‘Gugatan’ Prabowo-Sandi di MK
Sengketa Pilpres 2019:

Mengukur Peluang ‘Gugatan’ Prabowo-Sandi di MK

Secara teoritis dan praktik ada tiga pendekatan yang digunakan dalam memeriksa dan memutus permohonan sengketa pilpres yakni hitungan-hitungan, TSM, dan proses pemilu jurdil.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Meski sudah bisa membuktikan adanya TSM, Pemohon belum tentu bisa serta merta dikatakan menang. Sebab, hasil TSM harus bisa mencapai 50 persen dari selisih perolehan suara. Dalam kasus permohonan Prabowo-Sandi, TSM harus bisa mencapai sekitar 8,5 juta suara dari total selisih 16,9 juta suara. "Kalau pakai paradigma TSM yang kumulatif, barangkali the game is over," tegasnya.

 

Untuk itu, Refly menyarankan agar MK membagi dua bentuk pembuktikan yakni kuantitatif (hasil perolehan suara) dan kualitatif (kualitas proses pilpres). Jadi, ketika pemeriksaan pendahuluan dalam konteks sengketa pilkada, pemilu legislatif, dan pilpres, MK lebih dulu mempertanyakan kepada pemohon apa yang ingin dipermasalahkan kuantitatif atau kualitatif. "Kalau kuantitatif dulu, maka Anda harus bisa membuktikan Anda unggul dan ada bukti-buktinya. Kalau kualitatif, tanya mau mempermasalahkan apa," ujar dia.

 

Pendekatan jurdil

Secara pribadi, Refly berpendapat pendekatan yang lebih tepat ialah menggunakan paradigma pemilu yang jujur dan adil (jurdil) sebagai prinsip pemilu yang mendasar yang diatur kontitusi. Dalam hal ini, MK harus berani membuat kriteria pemilu yang dianggap inkontitusional agar putusannya bisa diterima akal sehat, rasio, dan emosi.  

 

"Misalnya apakah ada money poltics, pengerahan ASN, penggunaan APBN atau dana haram (dalam pilpres)? Apakah bisa dibuktikan terjadi equal playing field (perlakuan yang sama/adil dalam pilpres)?"

 

Hanya saja sayangnya, paradigma ketiga ini belum pernah dipakai oleh MK. Misalnya, paradigma pemilu jujur yang adil mensyaratkan proses penyelenggaraan pemilu itu haruslah konstitusional seperti yang tercantum dalam Pasal 22E UUD 1945 yakni penyelenggaraan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, jujur dan adil. “Apakah terjadi equal playing field dalam pemilu kita? Ini harus dibuktikan," tegasnya.

 

Hal senada disampaikan Dosen Hukum Tata Negara Falkultas Hukum Universitas Indonesia Fitra Arsil. Dia menilai dalam sengketa pilpres beban pembuktian Pemohon sangat berat. Sebab, prinsipnya siapa yang mendalilkan, dia yang harus membuktikan. Menurutnya, pembuktian sengketa pilpres harus dibedakan dengan sengketa pilkada, yang tidak cukup hanya membuktikan C-1. “Jika mau diadu pembuktian C-1, mending nyerah aja deh,” ujarnya.

 

Untuk itu, Fitra ingin melihat proses pembuktian di luar kuantitatif. Dalam hal ini, pembuktian kualitatif seharusnya bisa digunakan. “Mungkin saja hal itu bisa dilakukan karena desakan dari Pemohon. Sebab, selama ini jika meliha kebelakang, MK lebih cenderung menggunakan pembuktian kuantitatif.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait