Menyediakan Aborsi Aman di Indonesia
Kolom

Menyediakan Aborsi Aman di Indonesia

Kementerian Kesehatan, IDI, dan POGI perlu didorong untuk berempati dalam melihat pentingnya menyediakanlayanan aborsi aman. Setidaknya bagi korban kekerasan seksual sesuai kebijakan saat ini.

Bacaan 6 Menit

Indonesia memang masih melarang berbagai perbuatan mengenai aborsi dalam Pasal 283, 299, 346, 347, 349 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, sejak tahun 2009 lalu, Pasal 75 UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan 2009). telah mengecualikan aborsi aman bagi korban perkosaan. Syaratnya adalah usia kehamilan hingga delapan minggu dan untuk kehamilan atas indikasi kedaruratan medis. Ketentuan ini kemudian diperkuat dengan Pasal 463 UU No.1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Aborsi aman akhirnya dibolehkan hanya untuk seluruh korban kekerasan seksual—tidak hanya perkosaan—yang mengalami kehamilan sampai dengan 14 minggu dan untuk kedaruratan medis tanpa batasan usia kehamilan. Kebaruan aturan ini kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 60 UU No. 17 tahun 2023 tentang Kesehatan(UU Kesehatan).

Sayangnya, kebaruan aturan ini tidak selaras dengan pandangan para aktor yang seharusnya bertanggung jawab dalam penyediaan layanan aborsi aman. Organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI)dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) menolak keras pengecualian larangan aborsi untuk korban kekerasan seksual dengan batas kehamilan 14 minggu. Sebuah laporan pers pada peringatan Hari Aborsi Aman sedunia 2023 lalu menyebut IDI membenturkan layanan aborsi aman dengan sumpah dokter. Padahal, sumpah dokter tersebut pun diakui telah ketinggalan zaman dan banyak yang telah melakukan revisi seiring kebutuhan layanan, termasuk aborsi.

Penolakan sejenis juga datang dari Kementerian Kesehatan. Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak menolak penerapan pedoman World Health Organization (WHO)tentang penyelenggaraan aborsi. POGI juga membenturkan layanan aborsi aman dengan preferensi personal. Alasannya dokter obgyn belum tentu bersedia menyediakan layanan aborsi aman.

Kementerian Kesehatan, IDI, dan POGI perlu didorong untuk berempati dalam melihat pentingnya menyediakanlayanan aborsi aman. Setidaknya bagi korban kekerasan seksual sesuai kebijakan saat ini. Lembaga pendamping korban, Women Crisis Center (WCC) Jombang melaporkan peningkatan kebutuhan aborsi bagi korban kekerasan seksual. Pada tahun 2021, WCC Jombang menghadapi lima kebutuhan aborsi aman. Jumlahnya meningkat tahun 2022 menjadi tujuh korban yang sayangnya tidak bisa dipenuhi.

Pemerintah sebenarnya telah memiliki sejumlah kebijakan terkait setelah terbitnya UU Kesehatan 2009. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Kesehatan No.3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi. Namun, Kementerian Kesehatan tidak pernah melaporkan kepada publik bagaimana perkembangan pelaksanaan kebijakan ini.

Penelitian ICJR menemukan bahwa belum ada panduan pelaksanaan pelatihan aborsi meski mandat untuk melakukannya telah berusia delapan tahun. Kementerian Kesehatan tidak kunjung menunjuk fasilitas kesehatan yang dapat menyediakan aborsi aman. Bahkan, POGI kembali membenturkan kebaruan aturan aborsi aman juga dengan kendala sistem kesehatan, seolah sistem di Indonesia tidak mampu menyediakan.

Hal ini sebenarnya bertentangan dengan perkembangan wacana tentang aborsi secara global. Esai karya Presser berjudul Maybe Abortion Isn’t as Complicated as We’ve Been Led to Believe membahas bahwa aborsi secara historis aman dilakukan. Ia merujuk catatan sejarah pertengahan abad 19 di benua Amerika. Bidan dan penyedia pengobatan alternatif biasa memberi layanan restorasi menstruasi masa awal kehamilan dengan obat-obatan dan herbal.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait