Menyoal Batasan Hukum Kerugian Bisnis dan Keuangan Negara di Sektor Migas
Utama

Menyoal Batasan Hukum Kerugian Bisnis dan Keuangan Negara di Sektor Migas

Risiko dan nilai investasi yang tinggi menjadikan industri migas salah satu sektor usaha rawan korupsi. Namun, perlu diperjelas batasan hukum antara kerugian negara dengan kerugian bisnis pada sektor ini.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Seminar Nasional
Seminar Nasional

Sudah menjadi pandangan umum bahwa industri minyak dan gas (migas) merupakan salah satu sektor padat modal atau memerlukan investasi tinggi. Seiring hal tersebut, sektor migas juga merupakan salah satu industri yang memiliki kompleksitas regulasi mulai dari pemerintah tingkat pusat hingga daerah.

 

Salah satu persoalan yang menjadi sorotan pada sektor migas yaitu mengenai kepastian hukum dalam membedakan antara kerugian bisnis dengan keuangan negara. Sebab, investasi yang digelontorkan perusahaan migas belum tentu berujung profit. Namun di sisi lain, perusahaan migas tersebut harus menjalankan kewajiban bagi hasil dengan pemerintah.

 

Perlu diketahui dalam industri migas terdapat skema cost recovery atau penggantian operasional migas yang menggunakan anggaran negara. Selain itu, perusahaan migas juga memiliki kewajiban lain berupa pembayaran pajak hingga Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

 

Salah satu kasus terbaru sehubungan persoalan ini yaitu vonis 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 4 bulan kurungan terhadap Direktur Utama PT Pertamina Persero, Karen Agustiawan. Dia didakwa karena keputusan berinvestasi Blok Migas Basker Manta Gummy (BMG) di Australia justru menyebabkan kerugian negara.

 

Temuan kerugian negara pada sektor migas juga pernah termuat dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2017 yang diterbitkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).Terdapat kerugian pada penerimaan negara senilai US$ 1,18 miliar atau Rp 15,89 triliun pada sektor migas. Kerugian ini disebabkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan atas perhitungan hasil migas.

 

(Baca: Adakah Dampak Putusan Karen Agustiawan Terhadap Bisnis Pertamina?)

 

Melihat kondisi tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan menyatakan perlu ada sinergi antara pemerintah dengan lembaga pemeriksa seperti BPK dan KPK serta penegak hukum. Sinergi tersebut bertujuan untuk menyamakan kesepahaman mengenai defenisi antara kerugian bisnis dan negara.

 

“Sektor hulu migas unsur ketidakpastian sangat tinggi. Karena itu banyak sifatnya asumsi dan prediksi. Ini sepakat dulu. Ini penting. Kalau berkenan BPK kirim surat ke inspektur migas atau inspektur tambang nanti dikirim dari sana menjadi pegawai BPK. Supaya ada sharing pemahaman apa yang terkandung di perut bumi atau laut tidak bisa diprediksi,” jelas Jonan dalam acara Memetakan Makna Risiko Bisnis dan Risiko Kerugian Keuangan Negara di Sektor Migas di Jakarta, Senin (22/7).

 

Dalam kesempatan sama, Anggota IV BPK Rizal Djalil menyatakan kesepahaman antara pemangku kepentingan penting dilakukan. Hal ini mendorong agar investor migas mendapatkan kepastian hukum dalam mengambil keputusan bisnis. Menurutnya, kepastian hukum ini diharapkan dapat meningkatkan produksi dan penerimaan sektor migas.

 

“CEO dan perbankan tidak ragu-ragu ambil keputusan. Cadangan migas itu seperti perjudian yang penuh ketidakpastian terlebih lagi sektor usaha ini membutuhkan dana tinggi dan risikonya besar,” jelas Rizal.

 

Rizal menyatakan defenisi kerugian negara atau daerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.  Ketentuan tersebut seperti tercantum dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.

 

Sedangkan kerugian bisnis merupakan tanggungan korporasi yang tidak terdapat unsur kecurangan atau fraud, benturan kepentingan, perbuatan melawan hukum dan kesalahan yang disengaja. “Risiko bisnis dan keuangan negara adalah hal berbeda tapi ada singgungan sehingga perlu kepastian hukum,” jelas Rizal.

 

Dia juga mengusulkan agar perlu dibuat aturan teknis dalam pengambilan keputusan korporasi khususnya bagi perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). “Perlu ada Peraturan Menteri BUMN yang mengatur prosedur pengambilan keputusan bisinis yang melibatkan direksi, komisaris dan RUPS dengan mengacu pada business judgment rule. Setiap keputusan direksi menyangkut investasi harus didukung dengan kajian hukum aspek legal,” kata Rizal.

 

“Misalnya, kalau komisaris ada 7 yang hadir 5 itu kuorum atau enggak. Lalu, jangan ada rapat setengah kamar sehingga ada komisaris yang mengelak bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan perusahaan. Lalu, perlu diatur agar komisaris ke depan harus orang kredibel,” dia menambahkan.

 

Sigit Wibowo dari Badan Reserse Kriminal Direktorat Tindak Pidana Korupsi Kepolisian RI, menyatakan industri migas merupakan salah satu sektor rawan korupsi. Dia menyatakan rumitnya birokrasi serta tingginya risiko bisnis menjadi alasan sektor usaha tersebut rawan korupsi.

 

Dia menjelaskan setidaknya terdapat lima jenis tindak pidana korupsi pada sektor migas. Jenis tipikor tersebut tersebut seperti perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara, suap menyuap, gratifikasi, penyalahgunaan jabatan, dan perbuatan curang.

 

“Di ESDM ada beberapa perbuatan kami pilah-pilah setiap tindakannya apakah ada unsur perbuatan melawan hukum, kecurangan atau korupsi. Penyidik itu seperti peramal yang harus menyimpulkan niat jahat berdasarkan pembuktian materiil dan formil. Prinsip pokoknya jika dari kelalaian itu pelaku menerima sesuatu maka tidak bisa ditolerir,” pungkas Sigit.

 

Tags:

Berita Terkait