Sektor Hulu Migas Perlu Dikecualikan dari Rezim Perpajakan
Berita

Sektor Hulu Migas Perlu Dikecualikan dari Rezim Perpajakan

Kecuali jika pemerintah bersama investor melakukan renegosiasi PSC dengan tidak membebankan bagi hasil yang besar untuk pemerintah, rezim perpajakan bisa diterapkan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Ketidakpastian sektor fiskal di Indonesia terutama masalah perpajakan membuat iklim investasi hulu migas menjadi kurang kondusif. Sejak berlakunya Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, prinsip perpajakan dalam sistem kontrak kerja sama mendasarkan pada sistem Production Sharing Contract (PSC), menjadi tidak sinkron dengan aturan perpajakan yang berlaku di Indonesia.

 

Pemberlakuan UU Migas menyebabkan aturan perpajakan migas tidak lagi bersifat lex specialis. Prinsip assume and discharge yang mestinya diberlakukan dalam hal perpajakan, tidak dapat lagi diterapkan secara utuh di dalam kontrak kerja sama yang digunakan.

 

Pasal 31 UU Migas menyebutkan bahwa perlakuan perpajakan di sektor hulu migas disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Di dalam UU lama yang mengatur pengelolaan migas yakni UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, esensi dari prinsip assume and discharge dinyatakan secara jelas di dalam Pasal 14 dan Pasal 15. Undang-undang itu menyebut bahwa status kontraktor hulu migas adalah sebagai kontraktor dari Pertamina.

 

Selain PPh dan PBDR, kontraktor bukanlah merupakan subjek pajak secara langsung. Dalam hal ini, Pertamina sebagai wakil dari negara lah yang merupakan subjek pajak secara langsung, dan bukan kontraktornya.

 

Di dalam Pasal 14 dan 15 UU 8/1971 juga disebutkan pengenaan dan pengurusan atas pajak-pajak dan pungutan tidak langsung tersebut menjadi domain dari Pertamina sebagai wakil dari negara. Pada titik inilah, pemberlakuan UU Migas 22/2001 menghilangkan esensi prinsip assume and discharge.

 

Pasal 14:

  1. Dalam melaksanakan pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi sesuai dengan ketentuanketentuan yang tercantum dalam Undang-undang ini Perusahaan wajib menyetor kepada Kas Negara, jumlah-jumlah sebagai berikut:
  1. enam puluh persen dari penerimaan bersih usaha (net operating income) atas hasil operasi Perusahaan sendiri;
  2. enam puluh persen dari penerimaan bersih usaha (net operating income) atas hasil Kontrak Production Sharing sebelum dibagi antara Perusahaan dan Kontraktor;
  3. seluruh hasil yang diperoleh dari Perjanjian Karya termaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1963;
  4. enam puluh persen dari penerimaan-penerimaan bonus Perusahaan yang diperoleh dari hasil Kontrak Production Sharing.
  1. Untuk memudahkan pelaksanaan ayat (1) sub a dan b pasal ini dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan suatu persentase tertentu dari nilai penjualan atau suatu jumlah pungutan tertentu untuk setiap satuan volume dari seluruh produksi.
  2. Pada setiap akhir tahun diadakan penyesuaian agar jumlah yang disetorkan menurut ayat (2) pasal ini sama dengan jumlah yang diperhitungkan menurut ayat (1) sub a dan b pasal ini.

Pasal 15:

Penyetoran kepada Kas Negara sebagaimana tercantum pada ayat (1) sub a dan b pasal 14 Undang-undang ini, membebaskan Perusahaan dan Kontraktor, serta merupakan pembayaran dari:

  1. Pajak Perseroan termaksud dalam Ordonantie Pajak Perseroan (Staatsblad 1925 Nomor 319) sebagaimana telah diubah dan ditambah;
  2. Iuran pasti, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi dan pembayaran-pembayaran lainnya yang berhubungan dengan pemberian Kuasa Pertambangan termaksud dalam Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960;
  3. Pungutan atas ekspor minyak dan gas bumi serta hasil-hasil pemurnian dan pengolahan;
  4. Bea masuk termaksud dalam Indische Tariefwet 1873 (Staatsblad 1873 Nomor 35) sebagaimana telah ditambah dan di rubah dan Pajak Penjualan atas impor termaksud dalam Undang-undang Nomor 19 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Nomor 157) yo. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1968 (Lembaran Negara tahun 1968 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2847) sebagaimana telah di rubah dan ditambah dari pada semua barang-barang yang dipergunakan dalam operasi Perusahaan, yang pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah;
  5. Iuran Pembangunan Daerah.

 

Menjadi subjek secara langsung, kontraktor bukan hanya dikenakan atau harus membayar terlebih dahulu atas pajak dan pungutan tidak langsung itu saja, tetapi juga harus mengurus sendiri atas segala hal terkait birokrasi dan administrasi.

Tags:

Berita Terkait