Sektor Hulu Migas Perlu Dikecualikan dari Rezim Perpajakan
Berita

Sektor Hulu Migas Perlu Dikecualikan dari Rezim Perpajakan

Kecuali jika pemerintah bersama investor melakukan renegosiasi PSC dengan tidak membebankan bagi hasil yang besar untuk pemerintah, rezim perpajakan bisa diterapkan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Dosen Hukum Pertambangan Universitas Atmajaya, Ahmad Redi, mengatakan pada prinsipnya investasi migas memiliki perbedaan dengan investasi lainnya seperti investasi manufaktur. Investasi migas menganut sistem PSC atau sistem bagi hasil antara pemerintah dan pihak investor. Adapun bagi hasil yang biasanya disepakati dalam kontrak, pemerintah biasanya mendapatkan bagian lebih besar dengan persentase 60 persen berbanding 40 persen.

 

Tingginya persenan bagi hasil yang didapatkan oleh pemerintah membuat sektor hulu migas tak lagi dibebankan oleh kebijakan fiskal lainnya seperti pajak, terkecuali pajak bagi hasil. Industri hulu migas tak lagi tunduk pada rezim perpajakan di Indonesia.

 

Konsep ini jelas berbeda dengan sektor pertambangan minerba yang menerapkan sistem royalti. Pada sektor minerba, investor hanya diwajibkan membayar royalti sebesar 1-3 persen kepada negara, namun di sisi lain mereka juga dibebankan aturan perpajakan yang ada di Indonesia.

 

“Di rezim  migas dengan PSC dianggap penerimaan negara itu sebesar 60 persen berbanding 40 persen, dan itu sudah termasuk semua penerimaan negara, tidak termasuk lagi penerimaan negara lainnya seperti pajak, PNBP dll. Beda engan pertambangan yang memang membayar royalti 1-3 persen tapi dia harus bayar PBB, PNBP, PPN, PPh Badan, dan banyak pajaknya. Di migas itu tidak seperti itu, migas itu 60 persen dari penerimaan negara itu sudah besar tanpa pajak, sehingga memang tidak perlu tunduk pada rezim pajak,” katanya kepada hukumonline.

 

Mengapa demikian? Ahmad Redi menjelaskan bahwa perbedaan konsep ini dilatarbelakangi oleh tingginya risiko dari investasi sektor hulu migas. Dari satu hingga tiga titik eksplorasi yang dilakukan oleh investor, biasanya hanya satu yang berhasil menemukan sumber migas. Selain itu, lokasi sumber migas yang berada di lepas pantai atau di tengah laut membuat sektor migas lebih berisiko dibanding sektor minerba.

 

(Baca: Menakar Efektivitas Kebijakan Pajak Sepanjang Awal 2019)

 

Hal ini berbeda dengan eksplorasi minerba yang dilakukan di daratan. Bahkan untuk menemukan titik batu bara, misalnya, tingkat kesulitan yang dilakukan tidak sama seperti migas. Jika eksplorasi migas menemukan kegagalan, dana yang sudah dikeluarkan oleh investor tidak dapat dikembalikan oleh pemerintah.

 

Pertimbangan high risk ini, lanjut Ahmad Redi, yang kemudian menjadi pertimbangan penerapan skema bagi hasil dalam sektor hulu migas. Memang di sisi lain Indonesia memiliki UU Perpajakan yang jelas mengatur tentang tarif pajak bagi subyek hukum yang ada di Indonesia, namun jika rezim perpajakan tetap diwajibkan pada konsep PSC di sektor ini, maka jelas hal tersebut akan memberatkan investor dan membuat minat investor untuk masuk ke Indonesia menjadi terhambat.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait