MK: Pengumuman Hitung Cepat Harus 2 Jam Setelah Pemungutan Suara
Berita

MK: Pengumuman Hitung Cepat Harus 2 Jam Setelah Pemungutan Suara

Adanya larangan bagi lembaga survei untuk mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu pada masa tenang adalah sejalan dengan semangat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan telah memenuhi syarat pembatasan hak konstitusional sebagaimana diatur Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Selain itu, Mahkamah menganggap secara metodologis, perhitungan cepat bukan bentuk partisipasi masyarakat yang sepenuhnya akurat. Karena didalamnya masih mengandung kesalahan atau margin of error. Dengan demikian, sekecil apapun rentang kesalahan dalam metodologi perhitungan cepat yang digunakan akan tetap berpengaruh.

 

"Terutama ketika selisih perolehan suara antarkandidat berada dalam margin of error tersebut. Artinya, keandalan quick count adalah terjamin jika perolehan suara antarkandidat atau antarkontestan jauh melampaui rentang kesalahan tersebut," dalih Mahkamah.

 

Kemurnian suara rakyat

Terkait aturan survei atau jajak pendapat dalam masa tenang, Saldi mengungkapkan secara empirik sejumlah analis menengarai adanya indikasi bahwa sejumlah lembaga survei atau jajak pendapat berafiliasi kepada kontestan pemilu tertentu. Karena itu, jika UU Pemilu memperbolehkan adanya pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu pada masa tenang sama saja dengan menerima fakta empirik tersebut. Begitu pula halnya dengan sejumlah lembaga penyiaran.

 

Dengan begitu, membenarkan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang sama saja dengan membenarkan adanya kampanye pada masa tenang. Saldi melanjutkan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang yang dilakukan oleh lembaga survei atau jajak pendapat yang dahulu oleh Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009 dipertimbangkan sebagai pendapat yang “tendensius”.

 

Pada saat ini sebagian diantaranya merupakan fakta empirik meski hanya sebagian. Kondisi ini apabila dibiarkan sangat berpotensi mempengaruhi kemurnian suara rakyat dalam menentukan pilihannya yang pada akhirnya akan bermuara pada tidak terwujudkannya asas pemilu yang jujur dan adil seperti diamanatkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Terlebih, jika faktor kesiapan masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya hukum dan budaya politik masyarakat, juga turut menjadi pertimbangan sebagaimana tampak secara aktual pada reaksi yang terjadi terhadap hasil jajak pendapat itu.

 

“Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, serta dengan mempertimbangkan fenomena yang berkembang dalam masyarakat saat ini, adanya larangan bagi lembaga survei untuk mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang pemilu pada masa tenang adalah sejalan dengan semangat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan telah memenuhi syarat pembatasan hak konstitusional sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Karenanya dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.”

 

Permohonan ini diajukan dua pemohon yakni Ketua Umum Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) dengan No. 24/PUU-XVII/2019 dan PT Televisi Transformasi Indonesia, PT Media Televisi Indonesia, PT Rajawali Citra Televisi Indonesia, PT Lativi Mediakarya, PT Indosiar Visual Mandiri, PT Indikator Politik Indonesia dan PT Cyrus Nusantara dengan No. 25/PUU-XVII/2019.

Tags:

Berita Terkait