Para Pemohon menilai pembentuk UU telah membangkang perintah konstitusi dan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf (i) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terutama asas ketertiban dan kepastian hukum. Sebab, mereka telah menghidupkan kembali aturan larangan pengumuman hasil survei/jajak pendapat pada masa tenang dan pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat beserta ketentuan pidana dalam UU Pemilu.
Padahal, seluruh norma dari pasal-pasal yang diuji ini telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi melalui tiga putusan MK. Pertama, Putusan MK No. 9/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Maret 2009. Kedua, Putusan MK No. 98/PUU-VII/2009 bertanggal 3 Juli 2009. Ketiga, Putusan MK No. 24/PUU-XII/2014 bertanggal 3 April 2014. Pemohon menilai penundaan publikasi hasil hitungan cepat berpotensi menimbulkan spekulasi yang tidak terkontrol seputar hasil pemilu. Terlebih, Pemilu 2019, adalah pemilu perdana yang menggabungkan pilpres dan pileg dalam sejarah pemilu di Indonesia. Warga pemilih pasti sangat antusias untuk segera mendapat informasi seputar hasil pemilu.
Menurut pemohon, pembatasan waktu dengan ancaman pidana soal hitungan cepat seperti diatur pasal-pasal yang diuji justru berpotensi menimbulkan berita-berita palsu (hoaks) seputar hasil pemilu. Hal ini menurut para Pemohon akan menambah beban rumitnya pelaksanaan pemilu bagi penyelenggara pemilu, aparat penegak hukum, dan sulitnya menciptakan tujuan pemilu yang damai, tertib, adil, transparan, dan demokratis.