Mr. Teuku M Hasan, Pecinta Aljabar yang Meraih Meester in de Rechten dalam 1,5 Tahun
Tokoh Hukum Kemerdekaan

Mr. Teuku M Hasan, Pecinta Aljabar yang Meraih Meester in de Rechten dalam 1,5 Tahun

Gubernur Sumatera yang pertama ini pernah menjadi anggota BPUPKI. Memilih jurusan hukum demi Indonesia merdeka. Ikut dalam pertemuan membahas penghapusan kalimat dengan menjalankan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Muhammad Yasin
Bacaan 7 Menit

Setelah ikut dalam perjuangan pembentukan negara RI sebagai anggota PPKI, mempertahankannya di zaman Revolusi Kemerdekaan, sampai terwujudnya penyerahan kedaulatan dan negara kesatuan, saya sudah merasa cukup bahagia hanya menjadi seorang rakyat biasa, namun yang merdeka di negara yang sudah merdeka. Mr Teuku M Hasan ketika ditawari Hatta menjadi Dubes Indonesia untuk Mesir.

Satu Setengah Tahun Lulus

Anthony Reid dalam bukunya The Blood of the People, Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatera (1979) menulis Hasan adalah seorang alim yang tekun belajar, cepat menyelesaikan sekolah. Ia menyelesaikan kuliah hukumnya dengan cepat tanpa mengambil peran aktif dalam politik mahasiswa. Setelah lulus, ia sempat berpraktik sebagai advokat di Medan sebelum akhirnya bekerja di pemerintahan provinsi Sumatera.

Setiba di Belanda, Hasan memang mendaftar di Rijks Universiteit di Leiden. Awalnya, selama sebulan, ia bolak-balik dari Den Haag ke Leiden naik kereta api. Waktunya banyak tersita di jalan sehingga mengganggu pelajarannya. Alhasil, Hasan akhirnya memilih tinggal di Leiden, di jalan Schelpenkade, menyewa kamar berbiaya setara tiga puluh rupiah per bulan. Dari indekost ke kampus, berjalan kaki dapat ditempuh sekitar 10 menit. Hasan masih mengingat beberapa dosennya: Cornelis van Vollenhoven untuk mata kuliah hukum adat; Prof. Duyvendak untuk hukum perdata; Prof. Cleverings untuk hukum dagang, Prof. Idema untu hukum acara perdata; Prof. Wensinck untuk sejarah Islam dan bahasa Arab, C van den Berg untuk bahasa Jawa, Prof. Kern untuk bahasa Melayu; sedangkan tafsir dan surat kabar Arab diberikan oleh Snouk Hurgronje.

Di Leiden, Hasan mengenal beberapa mahasiswa yang kuliah di bidang hukum antara lain Maria Ulfah, J Soumokil, Ahmad Subardjo, dan Jusuf Adiwinata. Meskipun selalu diawasi dan terancam tidak mendapat kiriman biaya dari Aceh, Hasan memberanikan diri menjadi simpatisan PI ketika organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda ini dipimpin Ahmad Subardjo. Dengan Soumokil, Hasan mengaku bersabahat. Ia menghadiri promosi doktor ilmu hukum (kriminologi) Soumokil di Leiden. Sebagaimana tercatat dalam buku sejarah, Soumokil adalah Presiden Republik Maluku Selatan yang dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa pada 22 April 1964.

Hasan menjadi salah seorang murid Snouck Hurgronje. Prof. Snouck pernah meminta Hasan untuk datang ke kantornya. Dalam pertemuan itu, Snouck Hurgronje menceritakan rencana dan proses pembuatan kamus bahasa Aceh, yang dilakukan oleh prof. Hoesein Djajadiningrat, Guru Besar RHS di Batavia. Hasan diminta untuk memberikan penjelasan mengenai beberapa kata dalam bahasa Aceh. Dari pertemuan itu, Snouck juga mengatakan mengenal Teuku Bintara Pineung Ibrahim, ayah Hasan.

Merasa sudah siap menghadapi ujian untuk mata kuliah, Hasan memberanikan diri meminta kesediaan dosen-dosennya untuk memberikan ujian. Pertama-tama ke van Vollenhoven untuk hukum adat, lalu ke Cleverings untuk hukum dagang, dan Idema untuk hukum acara perdata. “Sesudah selesai tiga mata pelajaran tersebut, maka pada akhir bulan November 1933 saya diuji oleh sebuah komisi dalam sidang terbuka dan turut menyaksikan bukan hanya kawan-kawan mahasiswa dari Indonesia, tetapi juga ada mahasiswa Belanda,” tulis Hasan dalam biografinya. Prof. Wensinck, ketua komisi, mengumumkan langsung kelulusan Hasan dengan predikat memuaskan, dan berhak menyandangt gelar Meester in de Rechten (Mr). Itu berarti dalam waktu satu setengah tahun, Hasan sudah menyelesaikan studi hukumnya di Rijks Universiteit Leiden.

Baca:

Tags:

Berita Terkait