Pembunuhan Mahasiswa Korea, Meretas Jalan di Dunia Advokat
Pejuang Keadilan dari Surabaya

Pembunuhan Mahasiswa Korea, Meretas Jalan di Dunia Advokat

Lulus dari FH Universitas Airlangga, Trimoelja Darmasetia Soerjadi memutuskan menjalani profesi advokat. Banyak belajar dari bapaknya.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

(Baca: Trimoelja D. Soerjadi, Pengacara Pedesaaan Berjiwa Merdeka)

 

Hukumonline.com

Kantor hukum Trimoelja D. Soerjadi di Surabaya. Foto: NEE

 

Terbantu Ilmu Forensik

Perkara yang spontan diingat oleh Trimoelja ketika wawancara dengan hukumonline adalah saat ia membela tiga mahasiswa Papua yang didakwa melakukan pembunuhan terhadap mahasiswa Korea Selatan. Jaksa sangat yakin bahwa ketiganya yang tinggal satu indekos dengan korban sebagai pelaku pembunuhan. Polisi dan jaksa menduga ada motif perselisihan antara para pelaku dan korban.

 

Dalam perkara ini, Trimoelja beracara di persidangan secara mandiri bukan sebagai asisten atau mewakili ayahnya. Saat itu sekitar tahun 1970 ketika mayat mahasiswa asal Korea Selatan tersebut  ditemukan tergantung  di kamar kosnya. Tali yang menjerat leher korban terikat ke teralis lubang angin di atas kusen jendela kamar. Pada tubuh korban ditemukan beberapa luka sayatan di pergelangan tangan dan tusukan pisau di dada. Ketiga terdakwa, klien Trimoelja, dituduh menggantung korban untuk menutupi jejak pembunuhan dengan mengesankan seolah korban tewas bunuh diri.

 

Trimoelja yakin kliennya tidak bersalah karena polisi menemukan dua lembar suicide letter atau pesan bunuh diri di tempat kejadian perkara. Surat ditulis tangan oleh korban dengan bahasa Inggris dan satu lagi dengan bahasa Korea. Logikanya, Trimoelja meyakini, tidak mungkin dua surat itu direkayasa begitu mulus oleh ketiga kliennya. Apalagi ada pesan bunuh diri dalam bahasa Korea. “Ada surat, suicide note ya, surat bunuh diri, pamit dalam bahasa Korea dan dalam bahasa Inggris. Tapi itu semua diabaikan,” kata Trimoelja.

 

Tetapi yang banyak membantu meloloskan kliennya adalah pengetahuan tentang forensik kesehatan yang pernah diajarkan dosennya Prof. dr. Soetedjo, ditambah ketertarikan pada ilmu kedokteran kehakiman. Trimoelja mempelajari saksama visum et repertum korban. Ia bahkan meminta bantuan seorang dokter yang pernah indekos di rumah keluarganya di Jalan Embong Sawo semasa kuliah untuk meminjamkan buku-buku ilmu forensik. Berbekal literatur dan pengetahuan ilmu forensik itulah Trimoelka menyusun pledoi bagi ketiga terdakwa.

 

(Baca juga: Forensik dan Ruang Lingkupnya dalam Mengungkap Tindak Pidana)

 

Buku-buku tersebut dipelajarinya selama dua minggu hingga akhirnya dibawa ke persidangan dan dibacakan untuk menguji dokter Haroen Atmodirono sebagai dokter pembuat visum yang dihadirkan di kursi saksi. “Jadi dengan buku itu saya bacakan. Anda menerangkan ini, tapi buku ini kok mengatakan begini. Ini katanya buku panduan di Fakultas Kedokteran,” kenangnya.

 

Buku-buku tersebut yang masih diingatnya adalah Legal Medicine terbitan 1968yang disunting Francis E.Camps, M.D., Forensic Medicine karya Douglas J.A.Kerr terbitan 1957, dan Legal Medicine: Pathology and Toxicology karya Thomas Gonzales terbitan 1954. Penelusuran literatur induk asli berbahasa Inggris untuk konfrontasi argumentasi di persidangan kala itu termasuk yang masih jarang di peradilan.

 

Trimoelja meyakini korban, mahasiswa Korea Selatan, murni bunuh diri jika dihubungkan dengan teori dan ilmu forensik. Apalagi saat sidang di lapangan, ada kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. “Penyidiknya saya tanya, termasuk dokter forensiknya. (Mereka) tidak bisa jawab. Jadi saya banyak belajar dari buku-buku forensic medicine. Belajar sendiri,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait