Pemilu Serentak, Haruskah 'Dirombak' Total?
Utama

Pemilu Serentak, Haruskah 'Dirombak' Total?

Ke depan, pasca pemilu serentak ini, tinggal bagaimana pembentuk UU dan pemangku kepentingan, apakah desain pemilu serentak ini tetap dipertahankan dengan beberapa perubahan atau diganti total dengan merumuskan kembali sistem penyelenggaraan pemilu yang ideal sesuai kondisi zamannya.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Anwar mengingatkan seorang hakim ketika menjatuhkan sebuah putusan jika putusannya benar, ia akan mendapat dua pahala. Sebaliknya, jika putusannya salah, hakim tersebut hanya mendapat satu pahala. “Dua pahala itu adalah pahala ijtihad dan pahala kebenaran. Sementara jika hakim tersebut memutus salah, maka hanya akan terhitung satu pahala, yakni pahala ijtihad,” kata dia.  

 

Humas MK Fajar Laksono Suroso menilai sistem pemilu serentak penting dievaluasi untuk memperbaiki kualitas sistem pemilu berikutnya. Namun, dia berharap alangkah baiknya jika tidak mempersoalkan putusan MK. Sebab, bagaimanapun putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 terkait pemilu serentak ini merupakan hukum konstitusi yang berlaku mengikat dalam penyelenggaraan pemilu yang dikehendaki (Pasal 22E ayat 2) UUD 1945. Baca Juga: MK Putuskan Pemilu Serentak Tahun 2019

 

Membahas sistem pemilu serentak, tak bisa dilepaskan dari putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 yang dimohonkan pakar komunikasi politik Effendi Gazali Dkk. Pada Kamis 23 Januari 2014, Majelis MK yang diketuai Hamdan Zoelva membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres yang mengatur pelaksanaan pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan pileg atau tidak serentak. Namun, putusan MK yang memerintahkan pemilu serentak baru bisa diterapkan pada Pemilu 2019.

 

Alasan utama MK, ditinjau sudut pandang original intent, makna asli perumus perubahan UUD 1945, telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme penyelenggaraan pilpres secara bersamaan dengan pileg (pemilu lima kotak/surat suara) sesuai bunyi Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dan penafsiran sistematis Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Selain itu, pembiayaan penyelenggaraan pilpres dan pileg secara serentak akan lebih efisien dan lebih menghemat uang negara serta mengurangi gesekan horizontal masyarakat.

 

Lalu, DPR bersama pemerintah akhirnya mengakomodir putusan MK tentang pemilu serentak itu melalui Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017. Pasal 167 ayat (3) jo Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu menyebutkan pemungutan suara diselenggarakan secara serentak pada hari libur atau diliburkan secara nasional. Artinya, pelaksanaan pemilu serentak menggabungkan antara pilpres dan pileg secara bersamaan.      

 

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof Satya Arinanto mengatakan sistem pemilu di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami perbaikan hingga saat ini berlaku sistem pemilu serentak. Dia mengakui pemilu serentak lebih praktis ketimbang sistem pemilu sebelumnya. Bahkan, rencana Pemilu 2024 bakal dilaksanakan dengan 7 kotak, ditambah pilkada provinsi dan pilkada kabupaten/kota.           

 

“Ini (pemilu 7 kotak) sudah ada dalam skenario. Tapi saya sendiri nggak tahu, kenapa pemilu serentak banyak memakan korban? Dan pelaksanaannya lebih fokus pilpres, pileg tidak diperhatikan. Kalau pemilu dipisah lagi, nanti kita banyak liburnya. Ini juga masalah. Tapi sistem pemilu serentak sebaiknya tetap dipertahankan, kalau pelaksanaan masih bermasalah, mungkin iya, nantinya harus diperbaiki lagi,” ujar Prof Satya Arinanto dalam sebuah seminar bertajuk “Evaluasi Pemilu Serentak” di FHUI Depok, belum lama ini.

Tags:

Berita Terkait