Pencabutan Hak Politik: Menelusuri Jejak Infamia dalam Hukum Penitensier
Utama

Pencabutan Hak Politik: Menelusuri Jejak Infamia dalam Hukum Penitensier

Bagi politisi, pencabutan hak dipilih seharusnya merupakan momok menakutkan. Kisahnya dapat ditelusuri jauh sebelum KUHP berlaku.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Hukumonline.com

 

Salah satu persoalan dalam penjatuhkan sanksi atau hukuman tambahan adalah lamanya waktu hak dicabut (lihat tabel). Ahli hukum pidana dari Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian, menjelaskan bahwa dalam pandangan doktrin jurist, pidana tambahan untuk pencabutan hak tertentu punya jangka waktu tertentu alias sementara. Artinya, tidak bisa selamanya apalagi seumur hidup. Bahkan, jelas Sofian, ada jurist yang berpendapat bahwa pencabutan hak tertentu tidak boleh melampaui dari hukuman pokoknya. Dengan demikian jika hukuman pokok 3 tahun penjara, maka pencabutan hak tertentu tidak boleh melampaui 3 tahun.

 

Penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik seperti disebutkan tadi masih mungkin mengalami dinamika di pengadilan lebih tinggi. Adakalanya, pidana tambahan itu justru dijatuhkan majelis hakim tingkat kasasi. Sebut misalnya, tuntutan pencabutan hak politik mantan Kakorlantas Mabers Polri, Djoko Susilo. Pengadilan Tipikor Jakarta, tingkat pertama, menolak permohonan jaksa karena menganggap pencabutan hak politik itu berlebihan. Tetapi kemudian permohonan itu dikabulkan di tingkat banding dan diperkuas majelis hakim tingkat kasasi.

 

Infamia

Pencabutan hak politik dalam hukum penitensier Indonesia tak bisa dilepaskan dari sejarah KUHP. Penelusuran lebih lanjut akan bermuara pada apa yang dalam Hukum Romawi dikenal sebagai infamia. Dalam buku J. Remmelink (‘Pengantar Hukum Pidana Materiel 3’), infamia dikaitkan dengan hilangnya hak istimewa sebagai warga Romawi atau hilangnya kehormatan.

 

Lembaga infamia ini dimasukkan ke dalam Code Penal Perancis dan memberikan istilah peines infamantes. Hukum pidana yang berlaku di Perancis mengenal tiga jenis tindak pidana yaitu crime, delit, dan contravention. Tindak pidana yang tergolong crime dengan sendiri dipandang sebagai infamantes atau sebagai perilaku yang dengan sendirinya membuat martabat pelaku didegradasikan dari kedudukan warga yang dihormati. Dari Perancis, konsep itu dimasukkan ke dalam Wetboek van Strafrecht Belanda,  dan kemudian masuk ke Indonesia melalui UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.

 

(Baca juga: Pencabutan Hak Politik Terdakwa Kasus Korupsi di Mata Penegak Hukum)

 

PAF Lamintang dan Theo Lamintang menjelaskan dalam buku mereka Hukum Penitensier Indonesia (2012), kata infamia dalam Hukum Romawi merupakan suatu lembaga hukum berupa usaha untuk mendegradasikan martabat seseorang sebagai warga negara yang memang layak untuk dihormati. Caranya mencabut hak tertentu ketika yang bersangkutan melakukan kejahatan. Tujuan infamia adalah menekan orang tersebut agar tidak layak dihormati, dengan meniadakan hak perdata dan hak-haknya menurut hukum publik.

 

Para penyusun KUHP Indonesia, jelas Lamintang, tidak menolak pencabutan hak-hak. Cuma, mereka hanya menginginkan agar hak-hak yang dapat dicabut hanya hak-hak yang menurut sifat dan tindak pidana telah disalahgunakan orang tersebut. Misalnya, hak seseorang sebagai anggota DPR telah disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.

 

Pembentuk undang-undang telah menentukan pencabutan hak tidak bersifat imperatif untuk tindak pidana tertentu. Pasal 35 KUHP hanya menyebutkan hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan ia majelis hakim memandang perlu menjatuhkan sanksi tersebut. Bahkan hakim dapat memilih salah satu atau beberapa hak secara bersama-sama.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait