Pencabutan Hak Politik: Menelusuri Jejak Infamia dalam Hukum Penitensier
Utama

Pencabutan Hak Politik: Menelusuri Jejak Infamia dalam Hukum Penitensier

Bagi politisi, pencabutan hak dipilih seharusnya merupakan momok menakutkan. Kisahnya dapat ditelusuri jauh sebelum KUHP berlaku.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Tengok misalnya Pasal 350 KUHP: “Pada waktu menjatuhkan hukuman karena makar mati (doodslag), pembunuhan berencana (moord) atau karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 344, 347 dan 348, dapat dijatuhkan hukuman mencabut hak yang disebut dalam Pasal 35 nomor 1 sampai 5”.

 

Hak-hak yang dapat dicabut berdasarkan putusan hakim dalam Pasal 35 KUHP adalah (i) hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; (2) hak memasuki Angkatan Bersenjata; (3) hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; (4) hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atau penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; (5) hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; atau (6) hak menjalankan mata pencarian tertentu.

 

Hukumonline.com

 

Fakultatif

Sofian menegaskan salah satu prinsip hukuman tambahan pencabutan hak adalah sifat fakultatifnya hukuman itu. Penuntut umum boleh mengajukan, dan majelis hakim dapat menjatuhkan atau tidak pidana pencabutan hak. Persoalan hukum dalam pidana Indonesia adalah ketidakjelasan indikator penggunaan pidana tambahan, misalnya dalam perkara korupsi.

 

Fakta menunjukkan bahwa penuntut umum tidak selalu mengajukan tuntutan pidana pencabutan hak untuk seluruh terdakwa kasus korupsi. “Sayangnya dalam konteks hukum pidana kita, penggunaan pidana tambahanan tidak ada indikator yang jelas. Semuanya tergantung pada pandangan subjektif jaksa,” kata Sofian.

 

Namun, Sofian melanjutkan, jika hakim punya pandangan pencabutan hak tertentu tidak perlu  diberikan kepada terdakwa maka hal ini juga bisa diputuskan hakim. Kuncinya adalah bagaimana penuntut umum meyakinkan hakim. “JPU harus punya argumentatif juridis dalam tuntutannya mengapa dia menuntut pidana tambahan. Hal ini penting agar tetap menghormati harkat dan martabat terdakwa,” jelas doktor hukum pidana itu.

 

Tags:

Berita Terkait