Penembakan Laskar FPI, Begini Prosedur Penggunaan Senjata Api oleh Polisi
Utama

Penembakan Laskar FPI, Begini Prosedur Penggunaan Senjata Api oleh Polisi

Prinsipnya, penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar menghadapi keadaan luar biasa yang mengancam nyawa petugas Polri atau masyarakat.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Peringatan ini bisa dilakukan melalui 3 cara. Pertama, menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas. Kedua, memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya. Ketiga, memberi waktu cukup agar peringatan dipatuhi. Dalam keadaan yang sangat mendesak dimana penundaan waktu diperkirakan dapat mengakibatkan kematian atau luka berat bagi petugas atau orang lain di sekitarnya, cara ketiga tidak perlu dilakukan.

Mengacu Pasal 49 Perkapolri No.8 Tahun 2009, Arif menjelaskan setelah melakukan penindakan penggunaan senjata api ada kewajiban yang harus dilakukan petugas yakni mempertanggungjawabkan tindakan penggunaan senjata api; memberi bantuan medis bagi setiap orang yang terluka tembak; memberitahukan kepada keluarga atau kerabat korban akibat penggunaan senjata api; dan membuat laporan rinci dan lengkap tentang penggunaan senjata api.

Arif menjelaskan Pasal 5 Perkapolri No.1 Tahun 2009 mengatur 6 tahap penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Keenam tahapan itu meliputi kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan; perintah lisan; kendali tangan kosong lunak; kendali tangan kosong keras; kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri; tahap terakhir kendali menggunakan senjata api atau alat lain untuk menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.

Menurut Arif, anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan tersebut sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau tersangka dengan memperhatikan beberapa prinsip. Prinsip itu antara lain legalitas, semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Nesesitas, penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi. Selain itu, proporsionalitas, penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan.

Sesuai Perkapolri No.1 Tahun 2009, penggunaan dengan senjata api oleh kepolisian hanya upaya terakhir yang sifatnya untuk melumpuhkan dan hanya dapat dilakukan oleh anggota Polri ketika ia tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka. “Bila penghentian tindakan pelaku kejahatan atau tersangka ada ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat penggunaan senjata api tanpa harus diawali peringatan atau perintah lisan.”

Untuk itu, LBH Jakarta yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil berharap kasus ini segera dituntaskan mengingat tidak sedikit kasus pembunuhan di luar hukum yang terjadi dalam 3 tahun terakhir. “Beberapa Kasus ini mengingatkan kita dengan kasus pembunuhan di luar proses hukum yang sampai hari ini tidak jelas pertanggungjawaban dan penegakan hukumnya oleh Kepolisian,” kata Arif. 

Pertanggungjawaban

Perkapolri No.1 Tahun 2009 mengatur mekanisme pertanggungjawaban penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Pasal 13 Perkapolri Tahun 2009 menyebut setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas penggunaan kekuatan tindakan kepolisian. Dalam perintah atasan/pimpinan, anggota Polri yang menerima perintah tersebut dibenarkan untuk tidak melaksanakan perintah bila perintahnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Tags:

Berita Terkait