Penembakan Pekerja di Papua Kategori Aksi Terorisme? Ini Penjelasannya
Utama

Penembakan Pekerja di Papua Kategori Aksi Terorisme? Ini Penjelasannya

Tindakan penembakan di Papua menunjukkan adanya kekerasan, menimbulkan teror, memiliki motif politik, dan menimbulkan jatuhnya korban dari masyarakat sipil.

M-28
Bacaan 2 Menit

 

Hal yang disesalkan adalah maraknya media yang menyebut tindakan-tindakan separatis seperti di Papua ini bukan terorisme melainkan “hanya” pemberontakan. Mengenai hal ini Heru berpendapat jika ada framing dari penguasa. Pemerintah sengaja tutup mata dengan unsur kejahatan terorisme yang dilakukan atas nama menjaga keutuhan NKRI.

 

Baca:

 

Ia mencontohkan framing semasa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang lazim oleh penguasa disebut sebagai pemberontakan. “Sehingga bila disebut sebagai “terorisme” justru yang dikhawatirkan akan menghambat upaya perdamaian,” Heru menambahkan. Kekhawatiran terhadap adanya wilayah yang memisahkan diri dari NKRI membuat penguasa lebih sering menggunakan istilah “pemberontak” dibanding “teroris” terhadap kelompok-kelompok separatis.

 

Selain itu, alasan lain yang membuat gerakan separatis tidak lazim digolongkan ke dalam terorisme adalah karena konsep terorisme yang lahir dari peristiwa 9/11 yang meruntuhkan gedung World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat. “Narasi yang dibangun semenjak peristiwa 9/11, kemudian bom Bali, lalu ISIS memicu pandangan umum bahwa terorisme terasosiasi dengan Muslim, Islam, ataupun Arab. Sehingga kalau dia bukan Muslim, bukan Arab ataupun Timur Tengah tindakannya tidak disebut sebagai teroris,” tambahnya.

 

Padahal ada banyak kasus yang bisa digolongkan ke dalam terorisme dan dilakukan oleh orang yang tidak terasosiasi dengan Muslim maupun Timur Tengah. Heru menyebutkan contoh kasus terorisme di Amerika Serikat. “Salah satu kasus lone wolf terrorism di Las Vegas di mana seorang kulit putih membantai orang banyak. Kemudian anak muda yang membantai guru dan murid-muridnya, korbannya banyak. Namun tindakan ini tidak disebut terorisme. Sementara saat orang berwajah Arab menabrak sejumlah pejalan kaki di pedestrian langsung disebut teroris,” tutur Heru.

 

Narasi terorisme yang dibangun oleh penguasa menentukan siapa “orang” yang bisa disebut teroris dan yang bukan. “Kenapa ISIS disebut teroris? Al Qaeda disebut teroris? Sementara gerakan separatis semacam Organisasi Papua Merdeka (OPM) tidak bisa disebut teroris? Padahal sama-sama memiliki keinginan untuk berkuasa di wilayah itu,” pungkasnya.

 

Sementara itu, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia, mengatakan bahwa peristiwa ini harus diusut sebagaimana mestinya sesuai sistem peradilan pidana dengan menjamin semua hak-hak korban dan sesuai dengan prinsip fair trial.

Tags:

Berita Terkait