Perbaiki Kinerja Legislasi DPR, Tantangan Bagi Advokat yang “Nyaleg”
Advokat di Pusaran Pemilu

Perbaiki Kinerja Legislasi DPR, Tantangan Bagi Advokat yang “Nyaleg”

Upaya mendorong peran advokat berikut sarjana hukum pada umumnya yang kelak akan terpilih dan duduk dikursi parlemen untuk menunjukkan kapasitasnya harus dilakukan.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Tentu tidak bisa dipungkiri adanya proses politik dalam setiap pembahasan RUU menjadi UU. Proses poltik ini kadangkala menyebabkan mantan advokat mesti mampu menyesuaikan diri dengan iklim politik yang ada. Ketika menjadi anggota DPR, para mantan advokat ini pun otomatis menjadi anggota Partai Politik. Sehingga terkadang kapasitas sebagi advokat atau ahli hukum tereduksi dengan kepentingan politik dari RUU yang sedang di bahas. “Saya kira itu hal-hal yang menyebabkan mereka tidak bisa menunjukkan kapasitasnya. Tidak hanya advokat saja, tapi juga profesi yang lain,” tambah Lucius.

 

Melihat situasi ini, tentu menjadi tantangan bagi wajah-wajah baru yang berprofesi sebagai advokat, ketika hendak mencalonkan diri di Pemilu legislatif 2019.Terdapat sejumlah RUU yang memiliki hubungan langsung dengan profesi advokat. Selain yang sedang ramai tentang RUU KUHP, RUU KUHAP, RUU KUHPerdata, KUHAPerdata, RUU Advokat, dan RUU Jabatan Hakim.

 

Sedikit berbeda, pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai tidak ada relevansi langsung antara keberadaan advokat atau sarjana hukum yang duduk di kursi parlemen dengan kinerja legislasi DPR yang menurun. Menurut Bivitri terdapat kualifikasi yang berbeda untuk melihat persoalan ini.

 

“Karena sesungguhnya anggota DPR dipilih bukan karena kualifikasi profesi atau kualifikasi akademis bahkan. Tapi karena dia elected official jadi sebenarnya kualitas pengolahan aspirasi politik yang menjadi ukuran sehingga dia terpilih secara populer,” ujar Bivitri.

 

(Baca juga: Kinerja DPR Seharusnya Diukur dari Persepsi Publik)

 

Meski demikian, upaya mendorong peran advokat berikut sarjana hukum pada umumnya yang kelak akan terpilih dan duduk dikursi parlemen untuk menunjukkan kapasitasnya harus dilakukan. Mengingat agenda pembaharuan dan perbaikan hukum kedepan yang tidak sedikit dan memerlukan peran serta semua pihak. Salah satunya advokat dan sarjana hukum yang menjadi anggota DPR. “(Agenda) advokat (yang menjadi anggota DPR) sebenarnya bukan hanya organisasi profesi tapi juga perbaikan dunia peradilan dan hukum secara umum,” terang Bivitri.

 

Alotnya agenda pembaharuan dan perbaikan hukum di tanah air, disinyalir terjadi akibat salah satunya tidak ada gerak bersama antara insan hukum di Indonesia. Bivitri membayangkan adanya semacam koalisi tempat berkumpulnya sarjana hukum pada umumnya yang agendanya untuk mendorong perbaikan hukum dan dunia peradilan sehingga bisa mengidentifikasi permasalahan secara bersama dan mencari jalan keluar bersama, dengan demikian hal-hal semacam ini dapat menopang kerja-kerja legislasi di DPR, di luar proses politik dalam setiap pembahasan Rancangan Undang-Undang.

 

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), M. Faiz Azis, melihat advoat yang terjun sebagai politisi senayan memiliki dua kapasitas. Kapasitas sebagai sarjana hukum yang memiliki keilmuan hukum sehingga paham dengan tugas yang harus dilakukan dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk sampai pada proses advokasi sebuah peraturan perundang-undangan. “Konteks penyususnan legislasi itu mempunyai satu karaktersitik sendiri yang advokat harus paham seperti apa. Proses kebijakannya, penyusunannya, kemudian dinamika di dalamnya seperti apa, kemudian bagaimana melihat aturan itu berdampak ketika itu dibuat,” terang Azis.

Tags:

Berita Terkait